Meredupnya kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi, akibat perilaku hakim MK, seharusnya tidak boleh terjadi. Meski demikian, langkah hukum mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas, mencabut uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD berkaitan dengan hak angket untuk KPK telah dikonstruksikan sebagai mosi tidak percaya warga negara kepada MK.

Rumor beredar bahwa Arief Hidayat telah melobi sejumlah anggota DPR untuk bisa dipilih kembali sebagai hakim MK dengan "imbalan" MK akan mengizinkan DPR menyelidiki KPK dengan hak angketnya. Uji materi UU MD3 itu sedang ditangani MK. Sebagaimana diberitakan, Arief mengaku menemui sejumlah anggota DPR di sebuah hotel guna membicarakan mekanisme pemilihan kembali hakim MK dan bukan soal barter dengan perkara yang sedang ditangani MK. Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, juga membantah adanya lobi itu.

Rumor itu haruslah dijernihkan. Setelah Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK, menyusul kemudian hakim konstitusi Patrialis Akbar, marwah MK haruslah dijaga agar krisis kepercayaan publik tidak kian menjadi-jadi. Tidak ada jalan lain, Dewan Etik MK harus bekerja untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dengan dugaan lobi politik Arief Hidayat dengan sejumlah anggota DPR.

Kode Etik Hakim Konstitusi haruslah jadi pegangan. Sebagaimana ditulis dalam Kode Etik Hakim Konstitusi, "hakim konstitusi menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi, yang bebas dari pengaruh mana pun, arif bijaksana, serta tidak memihak dalam menegakkan hukum dan keadilan". Kode etik juga mengharuskan hakim menjaga jarak dengan pihak yang beperkara.

DPR memang telah menyetujui Arief Hidayat tetap sebagai hakim MK. Namun, kita berharap marwah MK tetap terjaga. Dewan Etik harus segera bekerja dan memberikan laporannya kepada publik mengenai dugaan pelanggaran kode etik tersebut. Isu harus dijernihkan agar wibawa dan kesucian MK tetap bisa terjaga.