Begitu lengkapnya AD/ART setiap parpol, dan karena itu, bagi siapa saja yang ingin tahu napas dan roh sebuah parpol mudah melacaknya dari AD/ART.

Semua parpol, berdasarkan AD/ART-nya, pasti bagus. Landasan ideologinya pasti bertujuan mengangkat harkat dan derajat manusia Indonesia. Dan, karena Indonesia adalah negara demokratis, demokratisasi menjadi salah satu tujuan penting semua parpol.

Jangan heran jika ada pendapat bahwa tanpa parpol, demokrasi tidak akan berjalan. Kendati dalam pilkada dan pilpres rakyat bisa memilih langsung tokoh idealnya, para calon biasanya tidak maju sendiri, tetapi melalui parpol.

Dengan demikian, bagi mereka yang akan bertarung, ada istilah "mencari kendaraan", yaitu mencari parpol yang akan mendukungnya. Sementara bagi parpol, ada istilah "meminang calon" dan "mengusung calon". Ketika mencalonkan diri untuk menjadi Bupati Pacitan, misalnya, Emil Dardak muncul melalui PDI-P. Kemudian saat maju sebagai calon wakil gubernur Jawa Timur untuk mendampingi Khofifah Indar Parawansa, dia menempel pada Partai Demokrat. Jangan heran manakala PDI-P terpaksa memecat Emil Dardak sebagai kader mereka. Parpol yang dulu mengusung Emil Dardak menjadi Bupati Trenggalek itu dengan sendirinya merasa tidak nyaman "dipecundangi" Emil Dardak.

Undang-undang memungkinkan seorang tanpa partai untuk maju sebagai calon, tetapi kenyataannya sulit sekali. Pada waktu akan maju dalam pilkada untuk masa jabatan kedua, awalnya Basuki Tjahaja Purnama ingin maju tanpa partai, tetapi akhirnya dia merasa tak nyaman. Dengan demikian, mau tidak mau dia menempel ke koalisi parpol yang mendukungnya.

Partai sebagai tunggangan

Tampaknya para calon itu sadar bahwa tanpa partai kemungkinan untuk menang bagi mereka sulit, dan kalau benar-benar terpilih, dia harus berhadap-hadapan dengan DPRD yang semuanya adalah orang parpol. Kalau kebijakannya tidak sejalan dengan aspirasi parpol-parpol yang wakilnya duduk di DPRD, dapat dipastikan pemerintahannya tidak berjalan dengan lancar. Kebijakan-kebijakannya bisa digoyang terus oleh DPRD.

Karena parpol sangat penting untuk menunjang kedudukan seorang calon, maka—kalau perlu— seseorang yang ingin memenangi pemilu harus memiliki parpol yang ia dirikan sendiri. Tujuannya agar dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya nanti, partai yang ia dirikan akan mendukungnya.

Golongan Karya, yang mula-mula tidak dilabeli sebagai parpol tetapi akhirnya bermetamorfosa sebagai parpol, misalnya, berdiri karena campur tangan Presiden Soeharto. Tujuan Golkar juga jelas, yaitu untuk melanggengkan kedudukan Soeharto sebagai presiden.

Cara untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto macam-macam, antara lain dengan menciptakan tiga jalur dalam Golkar, yaitu jalur A-B-G. Jalur A adalah angkatan bersenjata, khususnya Angkatan Darat (AD); jalur B adalah birokrasi, diisi oleh mereka yang diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan penting; dan jalur G adalah Golkar.

Dengan adanya Dwifungsi ABRI, kedudukan Presiden Soeharto pada waktu itu benar-benar kokoh. Dalam Dwifungsi ABRI dinyatakan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penjaga keamanan dan ketertiban negara serta sebagai pemegang kekuasaan dalam mengatur negara. Asal-usul Presiden Soeharto sendiri dari AD, dan oleh Soeharto serta jajarannya, kedudukan strategis seperti gubernur, bupati/wali kota, dan pimpinan berbagai perusahaan diberikan ke ABRI, khususnya dari AD.

Perjuangan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi presiden juga tidak lepas dari peran parpol. Ketika gagal menjadi wakil presiden pada tahun 2001, dengan cepat dia berpikir untuk mendirikan parpol, yakni melalui partai yang didirikannya: Partai Demokrat.

Presiden Perancis saat ini, Emmanuel Macron, juga mendirikan partai sendiri demi cita-citanya untuk menjadi presiden. Sebelum masuk politik, Macron bekerja sebagai bankir, dan setelah berminat untuk masuk ke kabinet, dia bergabung dengan Partai Sosialis. Kalau tetap di Partai Sosialis, tidak mungkin dia jadi presiden. Satu-satunya jalan adalah dengan mendirikan parpol sendiri, yaitu  En Marche! Maka, Macron berhasil bukan sekadar menjadi presiden, tetapi juga presiden termuda, umur 39 tahun, dalam sejarah Perancis.

Kisah di Austria juga mirip. Seorang pemuda, Sebastian Kurz, punya minat sangat besar untuk memimpin negaranya. Untuk itu dia mendirikan Freedom Party. Melalui parpol inilah dia berhasil menjadi kanselir termuda (31 tahun) dalam sejarah Austria, dan mungkin juga pemimpin paling muda di seluruh dunia saat ini.

Kendati Adolf Hitler sangat karismatik, untuk mencapai impiannya dia juga tidak bisa lepas dari parpol. Awalnya Hitler bergabung dengan Partai Buruh Nasional-Sosialis. Untuk mencapai impiannya, dia berusaha menguasai partai ini. Setelah berhasil menguasai parpol ini sebagai pimpinan tertinggi, nama partai dia ubah menjadi Partai Nazi, dan swastika diresmikan sebagai lambang Partai Nazi.

Tokoh-tokoh penting dalam politik memang tidak lain adalah kader parpol. Meski seseorang punya kedudukan tinggi dalam sebuah parpol, kedudukannya tetap sebagai kader. Simaklah, misalnya, kata-kata Megawati dan Puan Maharani yang memberi julukan Joko Widodo petugas partai. Akhirnya Megawati dan Puan Maharani mengakui bahwa mereka tidak lain adalah petugas partai pula. Makna "petugas partai" bukanlah pembesar partai, tetapi adalah kader partai.

Sarana perjuangan

Lalu, mengapa seseorang merasa perlu jadi kader parpol atau bahkan mendirikan parpol? Untuk demokrasi! Dan, demokrasi hanya bisa diciptakan dalam bentuk perjuangan politik. Sarana untuk mewujudkan perjuangan politik adalah kedudukan atau jabatan, sebab melalui kedudukan atau jabatan, seseorang bisa ikut dalam mengatur perjalanan pemerintahan.

Beberapa tahun setelah tak lagi jadi menteri, dalam sebuah tayangan televisi, Kwik Kian Gie menyatakan, parpol merupakan sarana bagi mereka yang ingin terlibat dalam mengatur negara. Kader parpol, dengan demikian, adalah orang berbudi luhur yang ingin ikut serta dalam mengatur negara supaya bangsanya maju sesuai dengan asas semua parpol, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Melalui parpol-lah semua orang yang berbudi luhur ini akan merealisasikan cita-citanya yang luhur. Tanpa melalui parpol, boleh dikatakan bahwa realisasi cita-cita luhur mereka tidak akan terlaksana. Parpol adalah sarana untuk menciptakan demokrasi agar cita-cita orang-orang berbudi luhur ini bisa terkabul.

Dengan sendirinya, demokrasi dalam arti yang sesungguhnya pasti berasas pada meritokrasi: mereka yang jasanya besar  diajukan oleh parpol untuk menduduki jabatan-jabatan strategis.

Namun, siapa yang menentukan kadar meritokrasi seorang kader? Para kader? Mungkin ya, mungkin pula tidak. Dalam praktik, ternyata ada  pula penilai kadar meritokrasi seseorang adalah pimpinan parpol itu sendiri.

Pimpinan parpol bisa menganggap parpol adalah milik pribadi, atau warisan nenek moyangnya sendiri. Namun, ternyata, justru tingkah laku pemimpin parpol semacam ini bisa membuat para kadernya bahagia.

Kader yang kritis tentu saja tidak mau diperlakukan sebagai alat legitimasi. Namun, karena keluhuran budi mereka, mereka tetap loyal pada parpol. Siapa tahu, kadar meritokrasi mereka pada suatu saat nanti akan dipertimbangkan dengan serius oleh pimpinan parpol. Atau, paling tidak, melalui parpol-lah dan bukan melalui perorangan, sumbangan mereka demi kemajuan bangsa bisa lebih terakomodasi.