Demokrasi yang kokoh dan lestari memerlukan tidak hanya institusi-institusi demokratik yang dapat berfungsi baik, lebih dari itu, demokrasi juga memerlukan kultur wargawi yang kuat (civic culture) dan berakar dalam diri setiap orang. Kultur wargawi meliputi kognisi terhadap sistem politik, partisipasi politik, dan kesadaran konstitusional, yang menunjukkan bahwa demokrasi mulai mendarah-daging dalam kehidupan warga.

Hal serupa berlaku untuk hak asasi manusia (HAM). HAM memerlukan institusionalisasi normatif dan organisasi-organisasi dasar yang menopangnya. Namun, itu saja tidak cukup. Ia memerlukan upaya untuk menanamkan kultur HAM ke dalam masyarakatnya.

Supaya hak asasi tumbuh dan berakar dalam sistem nilai dan perilaku orang, hak asasi memerlukan apa yang disebut dengan kultur HAM. Kultur HAM menekankan bahwa HAM harus hidup dalam kognisi, sensibilitas, dan perilaku dasar masyarakat. Ia bukan sekadar nilai, hukum, dan norma yang abstrak, juga bukan legalitas yang kaku dan hanya tampak serta terasa berfungsi manakala ia dilanggar. Lebih dari itu, ia jadi bagian dalam sistem kehidupan dan perilaku dasar setiap orang.

Konsep politik

Secara konseptual, istilah kultur HAM itu sendiri kurang banyak dikembangkan dalam  diskursus hak asasi di Indonesia. Dalam literatur Barat, konsep kultur HAM  banyak dibicarakan sebagai subtopik dari tema besar 'legal culture' atau budaya hukum (Arnold, Groussot, dan Petursson, 2013). Meski demikian, dalam penggunaan praktis, kultur HAM lebih banyak digunakan dan lebih kuat resonansinya sebagai sebuah konsep politik (Dana Irina, Winter, 2011).

Raymond Williams menekankan kultur sebagai 'ordinary', meliputi seluruh praktik maknawi yang diproduksi secara sosial dalam masyarakat.  Mulai dari praktik-praktik paling sederhana menyangkut kebiasaan hidup orang hingga ke soal-soal estetis, pembangunan intelektual suatu masyarakat, dan penciptaan teknologi yang kompleks. Kultur sebagai kehidupan sehari-hari (ordinary) ini dikemukakan Williams sebagai kritik terhadap pandangan elitisme kebudayaan (kebudayaan adiluhung) yang kuat di masyarakat Inggris.

Dengan merujuk pandangan mengenai kultur di atas, kultur HAM dapat kita rumuskan secara sederhana sebagai perwujudan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Kultur HAM tecermin dalam kehidupan material, estetik, pembangunan intelektual, serta perilaku sehari-hari warga negara. Ia juga menjadi makna yang ditransmisikan ke dalam tradisi dan sekaligus menjadi imajinasi kreatif kehidupan masyarakat.

Fungsi kultur HAM secara implisit juga dikemukakan dalam sebuah pidato pada tahun 1997 oleh Sekretaris Jenderal UNESCO. Menurut Sekjen UNESCO: "Human rights! At the dawn of the new millennium, our ideal must be to put them into practice, to add to them, to live and breathe them, to relive them, to revive them with every new day! No one nation, institution or person should feel entitled to lay sole claim to human rights, still less to determine others' credentials in this regard. Human rights can neither be owned nor given, but must be won and deserved afresh with every passing day. Nor should they be regarded as an abstraction, but rather as practical guidelines for action which should be part of the lives of all men and women and enshrined in the laws of every country. Let us translate the Declaration into all languages; let it be studied in every classroom and every home, all over the world! Today's ideal may thus become the happy reality of tomorrow! Learning to know, to do, to be and to live together!"

Pandangan Sekjen UNESCO menekankan perlunya menjejakkan hak asasi bukan hanya sebagai norma dasar, tetapi juga sebagai bagian dari tindakan keseharian individu. HAM mestilah hidup dan tumbuh dalam sistem pengetahuan (kognisi), sensibilitas (kepekaan nurani), dan modus bertindak orang.

Sebagai sistem kognisi, kultur hak asasi memberikan orientasi pengetahuan yang bisa diukur dari sejauh mana setiap orang memahami ide-ide dasar dan fungsi HAM dalam kehidupannya. Dengan kognisi ia bisa membedakan mana yang disebut HAM, dan ia pun tahu dengan jernih apa-apa yang disebut dengan pelanggaran hak asasi dan apa yang bukan pelanggaran hak asasi serta hukum apa yang bisa dikenakan  tindakan itu. Sebagai sensibilitas, kultur hak asasi memberikan dimensi rasa dan kepekaan bagi setiap orang untuk berempati, bersolidaritas terhadap penderitaan sesamanya. Sebagai modus tindakan kultur hak asasi hidup dalam tindakan setiap orang. Ia memberikan pijakan emosional, menumbuhkan rasa malu apabila dianggap sebagai melanggar HAM.

Dengan melihat posisi dasar dari kultur HAM, secara kategoris kita dapat membedakannya dengan pendekatan HAM yang selama ini dominan, yakni pendekatan HAM yang menekankan peran sentral negara. Tak pelak lagi, selama ini negara memang dianggap sebagai institusi terpenting dalam pengandaian-pengandaian dasar HAM. Selama ini, ideal HAM hanya bekerja dengan asumsi dasar adanya negara yang berfungsi secara baik untuk menjamin dan memenuhi hak-hak asasi individu.

Implikasi dari pendekatan  ini adalah bahwa negara menjadi pusat dan sumber dasar kemajuan/kemunduran HAM di dalam suatu masyarakat. Dengan kultur HAM, pertanyaan akan pentingnya peran kesadaran hak asasi warga negara juga menjadi penting. Kultur HAM meyakini bahwa adab sosial suatu masyarakat juga ditentukan oleh sejauh mana setiap individu di dalamnya bisa berinteraksi dengan basis nilai-nilai universal, dengan kepekaan akan penderitaan sesama.

Mesti diperjuangkan

 Survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) terhadap 405 responden di Jabodetabek, Oktober 2017, memperlihatkan data yang menarik mengenai sejauh mana kultur HAM mengakar di Indonesia. Survei menemukan bahwa mayoritas responden menyatakan jaminan negara terhadap HAM adalah hal yang penting (78 persen). Yang juga menggembirakan, data menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa HAM sesuai dengan agama yang mereka anut (70 persen).

Perihal orientasi afektif terhadap HAM, survei juga menunjukkan data menarik. Mayoritas responden menyatakan HAM mesti diperjuangkan sesuai amanat konstitusi, ada kecenderungan untuk berupaya memperjuangkan HAM dan kepedulian agar keluarga dan lingkungan mereka memahami HAM. Sebagian besar responden menyatakan bisa menerima jika ada pembangunan rumah ibadah agama lain (84 persen). Namun ada satu isu mengkhawatirkan, yakni soal penerimaan terhadap lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT): 95 persen  dari responden menyatakan tak bisa menerima jika ada  LGBT di lingkungan tempat tinggal mereka.

Di sini kontradiksi dalam kultur HAM muncul, sebagian besar warga bersikap positif terhadap HAM, tetapi bersikap sangat negatif begitu diuji dengan bagaimana penerimaan mereka terhadap kelompok LGBT. Hal serupa terjadi dalam soal hukuman mati yang ditunjukkan oleh data dari pelbagai penelitian lain sebelumnya yang menunjukkan: di satu sisi warga sangat menghormati hak hidup, tetapi di sisi yang lain sangat mendukung hukuman mati, terutama terhadap pengedar narkoba. Survei Indo Barometer tahun 2015 memperlihatkan bahwa lebih dari 80 persen responden di Indonesia menyetujui hukuman mati.

Kontradiksi dalam kultur HAM juga terlihat dari adanya jurang yang masih lebar antara aspirasi terhadap HAM dalam survei dan kenyataan sehari-hari yang  terjadi dalam masyarakat. Dalam praktik, kita masih menyaksikan pelbagai praktik di mana persekusi dengan dasar 'komunalisme', pelbagai pernyataan kebencian di media sosial, kekerasan fisik maupun simbolik terhadap perempuan  masih kerap terjadi, bahkan di kalangan kota besar seperti wilayah Jabodetabek ini.

Kontradiksi dalam kultur HAM di Indonesia ini menunjukkan  ciri yang spesifik dari suatu masyarakat yang sedang berubah. Gagasan-gagasan dasar mengenai HAM diterima serta cukup diketahui oleh warga, tetapi ia belum tumbuh sebagai etika kehidupan kewargaannya.  Yang jadi pertanyaan, bagaimana persoalan ini dapat dipecahkan agar kultur HAM bisa lebih diperkuat? 

Penelitian yang dilakukan P2D menunjukkan, kepekaan dan keterlibatan terhadap HAM tumbuh lebih subur di dalam pengalaman bersama di kalangan kaum muda. Oleh karena itu, metode yang lebih efektif untuk memperkuat kultur HAM bukan pertama-tama terletak pada forum-forum resmi, melainkan dalam bentuk mengajak keterlibatan kaum muda dalam kerja-kerja, dan voluntarisme di pelbagai lembaga, baik di LSM-LSM maupun di institusi resmi yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjamin HAM.