Harapan diaspora Indonesia di luar negeri untuk dapat berpartisipasi, mengabdi, berkarier, dan berpolitik di dalam negeri masih jadi mimpi pada tahun 2017. Keinginan dan peluang diaspora untuk berbakti di dalam negeri masih terganjal aspek legal status kewarganegaraan yang tidak berpilihan.

Meski sudah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), RUU Dwikewarganegaraan yang diajukan ke DPR belum juga dibahas. Banyak hal yang dipertimbangkan, baik administratif, teknis, maupun politis. Kesempatan memang masih terbuka hingga 2019, tetapi tak ada garansi akan mendapat legalisasi. Ironis, padahal tak kurang dari 8 juta diaspora Indonesia (terutama yang muda, terdidik, berkeahlian, dan berprestasi) menanti untuk bisa mengabdi kepada negeri. Pertanyaannya, bagaimana mengelola diaspora Indonesia agar dapat lebih cepat berkontribusi pada bangsa dan negara?

Setidaknya ada tiga alternatif. Pertama, idealnya negara segera memberlakukan UU Dwikewarganegaraan. Proposisinya, kemajuan Jepang, China, India, Taiwan, Korea Selatan, dan Turki sekarang tak lepas dari kebijakan ini. Dengan garansi mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), diaspora dapat tetap eksis dan produktif di luar negeri, tetapi memiliki ruang yang leluasa untuk berbakti di dalam negeri. Kedua, jika alternatif pertama belum sukses dieksekusi, berlakukan kebijakan brain gain by design, yakni membalik secara terencana sebagian diaspora muda, terdidik, berkeahlian, kreatif, dan inovatif dari luar negeri ke dalam negeri. Ketiga, jika diaspora tetap tinggal di luar negeri, perankan jejaring diaspora Indonesia untuk mewadahi dan memfasilitasi itikad dan tanggung jawab sosio-tekno-ekonominya.

Brain gain by design paling memungkinkan diaplikasikan lebih dini dalam mengelola dan mengakomodasi bakti diaspora Indonesia. Secara empiris, kemajuan Inggris, Jepang, China, Turki, Australia, Taiwan, dan Korea Selatan tidak terlepas dari kebijakan brain gain. Sejatinya, Sumpah Pemuda dan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari andil pelaku brain gain dari Eropa dan Timur Tengah. Secara personal, BJ Habibie merupakan salah seorang pelaku brain gain by design. Kembali ke dalam negeri atas kesadaran diri dan permintaan resmi dari Presiden Soeharto pada waktu itu. Sebagai sebuah proses, brain gain by design merupakan buah dari proses pengiriman anak bangsa ke luar negeri yang juga terencana (brain drain by design).

Secara riil, brain gain telah dilakukan oleh sebagian diaspora Indonesia, tetapi aksinya masih bersifat swadaya. Persoalannya, tak sedikit dari pelaku brain gain swadaya yang kembali ke luar negeri, baik karena kesulitan mengaplikasikan keahliannya, tidak terakomodasi oleh pasar kerja, maupun tidak mendapat pemihakan, jaminan, dispensasi, dan perlindungan dari negara.

Berkaca pada proses brain gain terencana BJ Habibie yang diakomodasi negara dengan PT Nurtanio (PT DI), BPPT, dan Otorita Batam, sudah waktunya Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan brain gain. Dengan kebijakanbrain gain, China, India, Korea Selatan, Taiwan, dan Turki berhasil memanggil sebagian ahli-ahli informasi teknologi (TI) yang berkarier di AS, Eropa, Australia, dan Kanada untuk mengembangkan industri TI setingkat Silicon Valley di dalam negeri. Konsekuensinya, negara harus siap dengan akomodasi, dispensasi (pajak, administrasi), insentif yang tinggi, fasilitas kendaraan, rumah, dan bahkan beasiswa bagi anak-anak pelaku brain gain.

Tentu tidak perlu membalik semua diaspora muda, berprestasi, terdidik, berkeahlian, berjaringan, dan inovatif ke dalam negeri. Keberadaan diaspora dan asosiasinya (seperti Indonesia Diaspora Network/IDN) tetap harus dipertahankan karena dapat digunakan sebagai ruang aspirasi, partisipasi dan jejaring bisnis, informasi, sosial, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan brain gain ke depan dapat dilakukan secara virtual. Dengan ini, para diaspora bisa tetap berkontribusi dan berbagi peluang bisnis, kerja, belajar, kolaborasi, beasiswa, penelitian, promosi, investasi, pemasaran, hibah, dan lainnya. Melalui aplikasi IT dan IDN, sumbangsih diaspora kepada bangsa dan negara dapat berbentuk program global.

"Brain gain" Indonesia

Bagi Indonesia, menerapkan brain gainterencana harus diawali dari investasibrain drain terencana, yakni mengirim SDM muda terseleksi ke luar negeri secara terencana sehingga pergi dengan tujuan yang jelas dan pulang dengan membawa kompetensi, keahlian, kreasi, inovasi, jejaring, dan hasil yang jelas juga. Modelbrain gain dan brain drain terencana ini telah sukses diterapkan oleh China, India, Turki, Taiwan, dan Korea Selatan.

Melalui kontrak mengikat, para pelakubrain gain dan brain drain terencana di China, India, Turki, dan Taiwan dituntut siap ditempatkan di pelosok negeri. Investasi brain gain terencana penting agar hasil investasi sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Juga mengantisipasi terjadi konsentrasi hasil investasi di kota-kota besar. Melalui investasi brain gain terencana, akan tercipta keseimbangan, kemerataan, dan kesesuaian SDM muda berkualitas di seluruh negeri.

Secara geografis, investasi brain drain danbrain gain terencana penting bagi Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan. Jika diimplementasikan, dapat jadi solusi atas masalah ketimpangan SDM dan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan, antara Jawa dan luar Jawa, antara Indonesia bagian barat dan bagian timur, serta antara pulau dalam dan pulau terluar.

Artinya, investasi brain darin dan brain gain terencana dapat dibangun oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. SDM muda dari daerah dapat dikirim ke negara maju untuk belajar, bekerja, dan magang. Tentu dengan perencanaan kontrak tujuan, proses, keluaran, dampak, dan capaian yang jelas bagi pengembangan dan pembangunan daerah. Para pelakubrain drain dituntut konsisten atas kesepakatan (siap kembali dan mengabdi pada negeri). Pemerintah daerah dituntut berkorban, mulai dari mendanai sampai memfasilitasi ruang aktualisasi.

Secara teknis, brain drain dan brain gainterencana Indonesia dapat diwujudkan dalam dua model. Pertama, brain draindan brain gain internal, yakni mengirim SDM muda potensial ke pulau dominan dan membalik SDM muda yang sudah berkualitas (berpendidikan dan berkeahlian) dari pulau dominan ke pulau terluar (less dominant) atau dari perkotaan ke perdesaan. Model ini dibutuhkan bagi efektivitas dan efisiensi implementasi otonomi, pembangunan, desa dan konektivitas.

Kedua, brain drain dan brain gaininternasional, yakni mengirim SDM muda potensial ke luar negeri (ke negara maju) dan membalik SDM muda yang unggul, sukses, dan kompetitif dari luar negeri ke dalam negeri, bahkan sampai ke desa-desa. Siapa yang mau dikirim ke perantauan hendaknya diperhatikan aspek potensi, komitmen, dan daya juangnya. Siapa yang ditarik dan didorong kembali ke dalam negeri, ke daerah dan desa-desa, hendaknya diperhatikan keunggulan, komitmen, dan jiwa nasionalismenya.

"Brain gain" negatif

Ada dua pertanyaan yang sering menciptakan kegamangan para pembuat kebijakan. Pertama, apakah masih tertanam rasa memiliki, rasa peduli, rasa bangga, dan jiwa setia para diaspora terhadap NKRI? Kedua, adakah jaminan bahwa kembalinya para diaspora akan kondusif dan konstruktif terhadap pembangunan dan keutuhan NKRI?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dipandang wajar. Pada beberapa kasus, adabrain drain dan brain gain negatif atau destruktif. Sebut saja kembalinya para koruptor, penjilat, buronan, gangster, pentolan kartel narkoba, dan sejenisnya dari luar negeri (pelarian, perantauan). Alih-alih berkontribusi, kehadiran mereka malah menciptakan situasi yang tidak kondusif.

Kekhawatiran dan kegamangan wajar ada, tetapi tidak perlu berlebihan. Sejatinya,brain gain terencana hanya membalik SDM berusia muda, terdidik, berkeahlian, dan berprestasi. Keberadaan diaspora muda hendaknya dilirik sebagai potensi dan peluang memasuki era bonus demografi.

Idealnya, keberadaan IDN dapat jadi garansi untuk meyakinkan pengelola bangsa dan negara: bahwa itikad para diaspora untuk mengabdi kepada negeri steril dari "negative brain gain". Benar dan setuju bahwa "sejarah jangan dilupakan", tetapi pintu bagi para diaspora tetap harus dibuka.

Jika China, India, Taiwan, dan Korea Selatan telah menerapkan kebijakan dan politik brain gain terencana seumur Presiden Soeharto membalik BJ Habibie, maka—sebelum terlambat—segera buka pintu legal bagi para generasi muda diaspora. Sekali lagi, IDN harus aktif memproduktifkan diaspora dan meyakinkan pengelola negara. Jangan sampai negara menutup celah bagi diaspora, tetapi membuka pintu lebar-lebar bagi SDM asing yang jelas-jelas hendak memecah bangsa, menjarah sumber daya, merebut lapangan kerja, dan mengendalikan kesempatan usaha.