Tahun politik ditandai dengan akan digelarnya 171 pemilihan kepala daerah dan persiapan Pemilu Presiden 2019 adalah hal biasa. Agustus 2018 sudah akan diketahui peta persaingan di pemilu presiden. Bukan tahun ini saja bangsa Indonesia menggelar pilkada. Melalui instrumen demokrasi itulah, sirkulasi elite berlangsung. Rakyat akan berdaulat memilih pemimpin mereka. Itulah tahun demokrasi yang seharusnya dirayakan dengan kegembiraan.

Meski demikian, bersamaan dengan perayaan Natal 2017, kita menangkap kesan kegelisahan di sebagian masyarakat tentang semangat kita berbangsa dan bernegara. Pesan Natal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) tahun 2017 menyiratkan pesan kecemasan itu. "Saat ini kita sedang cemas. Persatuan kita sebagai bangsa sedang terancam perpecahan. Keresahan dan kecemasan itu terasa beberapa tahun belakangan."

Kita garis bawahi pesan itu. Kecemasan dan kekhawatiran tidak boleh terlalu berlarut menyelimuti hidup kita. Dalam sebuah proses politik yang bernama pemilu akan selalu ada yang kalah dan menang. Namun, dalam sebuah proses pemilu yang mengeksploitasi sentimen primordial, bisa merusak tenun kebangsaan yang dari sananya sudah majemuk. Ada batin yang terluka dan membutuhkan emotional healing yang lama untuk merajut kembali tenun kebangsaan. Terlalu besar risikonya jika gagal dalam menjaga keindonesiaan.

Pemilihan presiden AS yang menempatkan Donald Trump menjadi contoh. Tindakan Trump dalam membelah warga Amerika, sampai membuat Presiden Barack Obama berkomentar, "Kalau Anda menang kampanye dengan memecah belah rakyat, Anda takkan bisa memerintah dan Anda tak akan bisa mempersatukan mereka."

Pidato Obama relevan dengan kondisi kekinian di Tanah Air. Elite politik yang akan mengikuti pilkada dan pilpres hendaknya memahami bahwa mereka juga punya tanggung jawab besar merajut tenun kebangsaan dan bukan malah merusak tenun kebangsaan yang sudah dibangun pendiri bangsa, apalagi hanya sekadar berburu kuasa. Tenun kebangsaan yang terkoyak harus kembali dirajut dengan sikap batin yang jujur bukan artifisial.