Pada sidang darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul, Turki, Rabu (13/12), kebersamaan itu penting untuk ditunjukkan. Apalagi, OKI yang dibentuk setelah Deklarasi Rabat 1969 awalnya memang fokus pada isu politik, khususnya soal Palestina. Kini OKI tak lagi fokus hanya memperjuangkan Palestina, tetapi negara anggota OKI pasti tidak lupa sejarah pembentukan organisasi ini.

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel jelas mencederai seluruh perjanjian internasional yang terkait. Hal itu seolah meniadakan upaya damai yang dirintis oleh banyak negara dan banyak organisasi internasional pascaperang Arab-Israel tahun 1967.

"Saya akan menyampaikan penolakan kita, rakyat Indonesia, atas penetapan sepihak AS," kata Presiden Joko Widodo, seperti dikutip Kompas, Rabu (13/12). Upaya Presiden Jokowi ini telah didahului oleh kunjungan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi ke Amman. Di ibu kota Jordania ini, Menlu Retno bertemu Menlu Jordania Ayman Safadi dan Menlu Palestina Riyad al-Maliki.

Setelah menggelar pertemuan itu, Retno menyampaikan optimismenya terkait sidang darurat OKI. "Palestina mengapresiasi langkah Indonesia sebagai negara non-Arab yang cepat melakukan serangkaian diplomasi setelah keputusan Trump," ujarnya.

Sikap Indonesia amat tegas dan jelas, mendukung proses perdamaian, mendukung berdirinya negara Palestina merdeka yang bebas dan berdaulat. Sikap itu sesuai dengan amanat konstitusi bahwa "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial".

Selama ini, AS memainkan peran penting dan dominan dalam perundingan perdamaian Timur Tengah meskipun berbagai upayanya tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Namun, dengan menetapkan Jerusalem sebagai ibu kota Israel, kita bertanya apakah benar AS tetap memperjuangkan solusi dua negara.