HANDINING

.

Novel adalah jawaban ketika tradisi literasi merosot, kemampuan reflektif manusia menilai lingkungan dan terutama menilai diri sendiri kian berkurang. Itulah jawaban saya ketika seseorang bertanya kenapa saya menulis novel. Apa karena pensiun? Memiliki banyak waktu? Tidak, jawab saya. Kita semua tak punya waktu. Waktu milik Yang Kuasa, diberikan kepada kita. Kalau sewaktu-waktu Dia menarik kembali pemberian-Nya, itu artinya habis waktu kita. Tancep kayon. Oleh karenanya, pemberian paling berharga kepada seseorang adalah kalau Anda memberikan waktu Anda. Tak ada yang bisa menukar waktu yang telah diberikan oleh dan kepada seseorang.

Kembali kepada novel, penulis dan pembaca novel tahu bahwa karakter pada novel tidaklah homogen, tetapi heterogen; tidak tunggal, tetapi jamak; kadang terkeping-keping penuh kontradiksi. Si tokoh menempatkan diri secara berbeda-beda pada setiap kondisi, waktu, dan ruang berbeda. Ia berbeda ketika menempatkan diri dalam hubungan dengan orangtua, anak, kekasih gelap, dan lain-lain.

Keluasan manusia itulah yang ditemui penulis dan pembaca novel. Entah itu Madame Bovary dalam Madame Bovary; Tomas dalam The Unbearable Lightness of Being;Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia; dan seterusnya.

Salman Rushdie dengan menarik menguraikan the art of the novel dalam salah satu bagian memoarnya berjudulJoseph Anton. Menceritakan bagian hidupnya, terutama ketika dalam persembunyian selama bertahun-tahun karena jatuhnya fatwa mati baginya, ia hendak mengatakan perjuangan seorang novelis memperluas cakrawala dunia.

Dunia waktu itu, awal 1980-an—dan sama-sama kita lihat makin menjadi-jadi sekarang—adalah dunia yang punya kecenderungan makin tertutup. Berbeda dengan identitas karakter novel yang bisa sangat kaya dan luas, pada dunia nyata kini banyak orang mempersempit identitas diri sendiri. Kalau tidak pribumi berarti nonpribumi; kalau tidak mayoritas berarti minoritas; kalau tidak bumi datar berarti kecebong.

Sungguh menyedihkan. Padahal, kita bisa saja berbeda keyakinan, tetapi mendukung klub sepak bola yang sama. Bisa saja kita berbeda suku, tetapi memiliki ukuran yang sama mengenai kecantikan perempuan. Bisa saja kita tidak bersetuju pada sistem penataan kota, tetapi bersepakat dalam cara mendidik anak dan lain-lain.

Apa penyebab penyempitan identitas diri dan gejala kekerdilan itu? Matinya daya nalar. Mengapa daya nalar mati? Kemungkinan karena literasi yang merupakan tanah subur bagi perkembangan peradaban kian terdesak tradisi digital.

Baca pemikiran novelis-novelis, seperti Umberto Eco, Milan Kundera, Salman Rushdie, dan Hanif Kureishi, mereka semua lahir dari tradisi novel Barat. Peradaban Barat dibentuk oleh novel. Intinya sama saja: oleh dongeng. Nilai-nilai kita di Timur juga dibentuk olehMahabharata, Ramayana, I La Galigo. Saya pernah melihat seorang motivator yang kerjanya memotivasi orang-orang untuk lekas menjadi sukses dan kaya menganjurkan agar jangan baca novel. Buang-buang waktu. Berjas berdasi, saya lihat dia seperti orang kurang waras.

Itulah medan perjuangan literasi sekarang. Tabik kepada individu-individu yang setia mengembangkan literasi, seperti Maman Suherman, Agus Noor, JJ Rizal, Hasan Aspahani, Ayu Utami, dan banyak lagi yang tak mungkin tersebutkan dalam ruang yang sempit ini. Mereka juga seperti orang gila, tetapi ini kegilaan yang lain.

Dunia sekarang oleh sekelompok orang didorong untuk menjadi dunia yang tertutup, sempit, dengan identitas sangat terbatas. Literasi harus berikhtiar membuka dunia, meski tak seberapa, berusaha meningkatkan bagaimana manusia mengembangkan pengertian, pemahaman, dan pada akhirnya mendorong bagaimana manusia untuk "menjadi", to be.

Jalan novel adalah jalan Tao. Ketika fakta sakit, fiksi sehat. Begitu pun sebaliknya.