Terbukanya informasi mengenai proses penanganan kasus korupsi KTP elektronik yang menjerat eks Ketua DPR RI Setya Novanto memperlihatkan sebuah drama hilangnya rasa malu. Pembohongan publik terjadi melalui terungkapnya informasi bahwa rumah sakit sudah dipesan sebelum kecelakaan terjadi, dan ketika dokter yang ditugaskan KPK untuk memeriksa menyatakan bahwa tersangka sehat, tetapi yang bersangkutan menyatakan sakit kepada hakim sehingga tidak sanggup menyebutkan namanya dengan jelas dalam persidangan pertama.

Peristiwa serupa kita lihat juga dalam beberapa kasus lain, yakni seseorang melakukan pembohongan publik tanpa merasa malu atau salah. Pertanyaan, apakah seseorang bisa memperlihatkan kebohongan dengan jelas kepada publik tanpa merasa bersalah atau malu? Atau, apakah perasaan tidak bersalah menutupi rasa malu yang bersangkutan? Apa relasi antara rasa salah dan malu?

Norma moral

Dalam masyarakat yang lebih memiliki relasi kekerabatan lebih dekat, seperti negara-negara di Asia, rasa hormat dan malu memiliki peran yang lebih kuat sebagai norma moral dalam masyarakat dari rasa benar dan salah dalam norma hukum.
Ketika seseorang melakukan kesalahan dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan, seperti Jepang dan Korea Selatan, dia dengan sendirinya akan merasa malu kepada publik atas kegagalannya. Sementara dalam masyarakat ini, seseorang bisa melanggar hukum untuk membela kehormatannya, misalnya membunuh demi kehormatan keluarga. Di pihak lain, masyarakat yang lebih memegang norma hukum lebih menegakkan rasa benar dan salah dalam perubahan sikap, dan rasa malu muncul hanya untuk hal-hal yang bersifat personal.

Rasa salah dan malu adalah bagian dari emosi. Ada tiga teori umum yang menggambarkan proses terbentuknya emosi. Teori pertama mengatakan bahwa emosi adalah bentukan masyarakat. Dalam hal ini, seseorang yang tidak merasa malu atau salah tidak merasakannya karena masyarakat tidak menyatakan bahwa itu salah atau memalukan, atau karena masyarakat memiliki norma yang berbeda. Saya baru merasa malu kalau masyarakat menyatakan bahwa tindakan saya menghilangkan kehormatan saya.

Dalam konteks masyarakat yang lebih individual, rasa malu tak lagi bergantung pada masyarakat, dan masuk ke ruang privat. Seseorang yang korupsi akan merasa bersalah, tetapi tak merasa malu. Meski demikian, konektivitas dunia melalui media sosial membawa teori emosi sebagai bentukan masyarakat kembali melalui public shaming. Kita bisa dengan beramai-ramai menghakimi seseorang melalui media sosial meski tindakannya tidak melanggar hukum.

Teori kedua menyatakan emosi adalah bagian dari proses evolusi. Penelitian emosi dalam tradisi evolusi Darwin melihat perkembangan emosi dalam perspektif evolusi sebagai proses alami. Mereka yang berada dalam tradisi ini akan membandingkan emosi manusia dengan spesies lain dan proses adaptasi yang membuat emosi manusia berkembang. Jika emosi adalah bagian alami dari proses evolusi, bisakah seseorang disalahkan karena tidak memiliki emosi tertentu? Apakah seseorang harus bertanggung jawab untuk emosi yang tidak dirasakannya karena tidak berkembangnya emosi itu dalam dirinya?

Teori ketiga menempatkan emosi sebagai penilaian. Pemikiran ini bisa ditelusuri sampai ke kaum Stoa yang memperlihatkan bahwa emosi  adalah  hasil  dari penilaian seseorang atas sebuah situasi. Emosi adalah penilaian atas benda-benda, orang-orang, atau kejadian-kejadian yang melibatkan diri sendiri. Emosi adalah refleksi dari penilaian seseorang akan hal-hal yang berlangsung baik atau buruk di dalam hidupnya.

Emosi muncul ketika kita memproyeksikan hal yang kita lakukan atau belum, lalu memberikan penilaian terhadapnya. Norma yang membentuk seseorang akan membuatnya mengambil penilaian kebajikan, apa perasaan yang dimilikinya atas hal tersebut. Dalam paham ini, seseorang bisa disalahkan ketika dia tidak memiliki perasaan tertentu karena norma yang dianutnya menyuruhnya untuk merasakan hal itu.

Budaya  Timur, khususnya di Indonesia, sepertinya berada dalam teori emosi pertama, yaitu emosi sebagai bentukan masyarakat. Pada awalnya, berbagai budaya di Indonesia tak memisahkan malu dan salah, semuanya masuk dalam penilaian masyarakat. Namun, setelah hukum formal ditegakkan di masyarakat, negara mengambil alih penilaian benar dan salah, sedangkan masyarakat hanya bisa menilai terhormat atau memalukan. Pemisahan ini menimbulkan komplikasi bahwa seseorang bisa merasa malu tapi tidak bersalah, seperti seorang rentenir yang merasa malu untuk mengakui profesinya kepada saudaranya, tapi tak merasa bahwa dia melanggar hukum.

Kembalikan rasa malu

Mengapa seseorang bisa tak merasa malu? Ada dua sebab. Dalam kasus pelanggaran hukum formal di masyarakat,
ketika kekuatan hukum tidak berjalan dengan baik, seseorang yang menyandarkan rasa malu pada penilaian masyarakat tidak akan merasa bersalah sebelum diputus bersalah oleh pengadilan. Ketika sistem peradilan yang tidak baik membuat yang bersalah lolos dari hukuman, kepercayaan masyarakat terhadap sistem itu juga jadi rendah.

Alasan kedua berhubungan dengan bagaimana seseorang meraih kedudukan terhormat di masyarakat. Ketika seseorang sudah mencapai status terhormat di masyarakat, baik karena posisi, harta, maupun pekerjaan, ketika dinyatakan bersalah oleh hukum dia tetap dianggap terhormat di komunitasnya. Lingkaran ini akan mengantar seseorang pada sikap tanpa rasa salah atau rasa malu.

Bagaimana cara mengembalikan rasa malu dan salah? Pertama, hukum harus ditegakkan sehingga seseorang yang bersalah ditetapkan bersalah dan menerima hukuman. Kedua, pengajaran virtue harus dikuatkan, terutama dalam pengajaran nilai-nilai moral agama dan bangsa Indonesia, sehingga seseorang harusnya merasa bersalah dan malu karena penilaian berasal dari pengajaran nilai yang ada dalam dirinya sendiri.