Jika kita tidak mengubah cara mengajar anak-anak kita, 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar. Yang kita ajarkan saat ini adalah peninggalan 200 tahun lalu, sarat dengan muatan pengetahuan. Yang dikhawatirkan adalah para lulusan pendidikan semacam ini tidak bisa berkompetisi dengan mesin.
Perlu kesiapan
Sudah banyak ulasan soal peluang dan ancaman otomatisasi pada berbagai pekerjaan dan bidang profesi. Salah satunya ulasan berbagai variabel pekerjaan dan kemungkinan kerentanan tergantikan oleh komputerisasi (Frey & Osborne, 2013). Tiga kategori variabel adalah persepsi dan manipulasi, kecerdasan kreatif, dan kecerdasan sosial.
Yang termasuk kategori persepsi dan manipulasi adalah ketangkasan motorik kasar dan halus serta kemampuan bekerja dalam ruang fisik yang sulit dan terbatas. Kecerdasan kreatif mencakup orisinalitas dan karya seni. Kecerdasan sosial meliputi persepsi sosial, negosiasi, persuasi, dan kepedulian terhadap sesama. Variabel paling tidak rentan tergantikan oleh komputerisasi adalah orisinalitas dan persepsi sosial, kemudian adalah kepedulian sosial dan persuasi.
Sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan yang paling rentan ter-otomatisasi mencakup fungsi-fungsi yang rutin, pengulangan, dan dapat diprediksi pada bidang-bidang layanan kepada pelanggan, penjualan, administrasi perkantoran, produksi (pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan) dan konstruksi. Pekerja telemarketing, kasir, paralegal, sopir, tukang masak cepat saji, dan administrasi perlu bersiap diri dan mengasah keterampilan tambahan agar tidak terpinggirkan dalam era otomatisasi.
Satryo Brodjonegoro menulis tentang "Kecakapan Era 4.0" dan implikasinya bagi pendidikan tinggi di Indonesia (Kompas,14 Februari 2018). Sebelum pendidikan tinggi, proses pengembangan kecakapan era 4.0 perlu dan bisa dilakukan sejak titik hulu pada pendidikan usia dini dan sepanjang masa pendidikan dasar dan menengah.
Apakah pendidikan dasar dan menengah sudah siap dengan tuntutan perubahan ini? Bagaimana sistem pendidikan dasar dan menengah bisa mengantar anak-anak muda Indonesia untuk menjadi lebih cerdas daripada mesin dan makin bijak untuk bisa menggunakan mesin demi kemaslahatan manusia?
Ketersediaan, peningkatan profesionalisme, dan perlindungan serta penghargaan guru adalah satu dari lima isu strategis bidang pendidikan sesuai hasil Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2018. Pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi dan harmonisasi dalam membuat regulasi tentang pembagian kewenangan dan pembiayaan dalam rangka peningkatan kualitas dan profesionalisme guru berdasarkan pemetaan dan analisis kebutuhan pelatihan guru.
Terkait dengan urgensi perubahan menyongsong era otomatisasi, guru sebagai fasilitator proses pendidikan dasar dan menengah diharapkan bisa menyiapkan para siswa untuk menavigasi masa depan mereka dan menjadikan diri mereka sebagai tuan yang akan mampu mengendalikan mesin atas dasar penghargaan terhadap martabat manusia. Mengembangkan kecerdasan kreatif dan kecerdasan sosial seharusnya menjadi bagian penting kurikulum dan proses pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sayangnya, ketika guru disibukkan oleh beban penyampaian muatan pengetahuan plus berbagai tugas administratif, guru akan merasa beban kurikulum terlalu padat dan tidak mempunyai waktu untuk memberikan siswa kesempatan menjelajahi daya-daya kreatif mereka dan menghasilkan karya-karya orisinal. Selanjutnya, interaksi sosial para siswa juga jadi terbatasi.
Akhirnya, proses belajar-mengajar di sekolah merupakan rutinitas pengulangan dan penyampaian muatan pengetahuan yang tidak mengasah siswa untuk mengembangkan daya cipta dan kepedulian sosial mereka. Apa yang dikuatirkan Jack Ma terhadap kegagalan pendidikan sebagai katalis perubahan masyarakat akan terjadi. Mengubah fenomena ini membutuhkan koherensi keseluruhan proses, mulai dari model kurikulum, pengembangan kapasitas guru, proses pembelajaran di kelas, dukungan sarana-prasarana, hingga penilaian hasil pembelajaran.
Asah keterampilan guru
Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang rendah masih merupakan tantangan besar. Rata-rata hasil UKG pada 2016 adalah 54,33 (SD), 58,25 (SMP), 61,74 (SMA) dan 58,30 (SMK). Pengamatan dan penelitian di lapangan tidak berbeda jauh dengan hasil UKG. Survei dan wawancara terhadap 193 sampel guru di Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Jambi menunjukkan bahwa sebagian besar guru menggunakan media pembelajaran hanya untuk latihan yang menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah (Harjanto, Lie, Wihardini, Pryor & Wilson,Journal of Education for Teaching).
Program pengembangan kapasitas guru berupa pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga filantropis, seperti Tanoto Foundation, patut dihargai dan sudah menunjukkan berbagai kemajuan berupa peningkatan kompetensi pedagogis guru peserta pelatihan.
Setelah berpartisipasi dalam program pelatihan, para guru tampak lebih terampil dalam pengelolaan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Upaya peningkatan mutu guru masih harus dilanjutkan dan ditingkatkan, terutama karena data lini dasar kompetensi guru masih kurang memadai dan lompatan kompetensi yang harus dilakukan para guru mesti besar agar bisa mengantar siswa mengembangkan kecerdasan kreatif dan kecerdasan sosial mereka.
Secara spesifik, banyak guru masih harus mengasah keterampilan bertanya yang bisa mengarahkan siswa untuk berpikir tingkat tinggi dan membangun budaya bertanya di kalangan para siswa yang sudah terperangkap dalam budaya diam dan duduk manis.
Selain itu, para guru juga perlu melihat dunia di luar sekolah dan membangun jembatan antara materi pembelajaran dan kehidupan sehari-hari. Hasil pemetaan dan analisis kebutuhan pelatihan guru diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan rencana pelatihan guru berkelanjutan berdasarkan model-model pengembangan profesionalisme yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar