Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik. Eksistensi DPR ada karena ada rakyat. Oleh karena itu, hubungan DPR dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik. Rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada DPR. Lembaga DPR melaksanakan kekuasaan itu.
Mengingat kekuasaan memiliki kecenderungan untuk menyimpang, maka rakyat mengontrol DPR, baik secara individu maupun secara bersama-sama. Rakyat jugalah yang akan meminta pertanggungjawaban DPR untuk menentukan apakah akan diberi mandat kembali atau tidak untuk masa jabatan berikutnya. Oleh karena itu, suara rakyat kepada DPR adalah suara pemberi kekuasaan kepada yang bertugas melaksanakan kekuasaan itu, bukan suara untuk menghinakan DPR.
Hubungan DPR dengan rakyat adalah hubungan politik. Namun, DPR menggunakan pendekatan legalistik. Rakyat yang bersuara—dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang baru—dicurigai akan merendahkan kehormatan DPR. Rakyat tidak lagi dilihat sebagai pemberi kekuasaan, tetapi dilihat sebagai musuh.
DPR sudah agak keterlaluan! Sayangnya, Presiden pun, lewat Kementerian Hukum dan HAM, mengamini perilaku DPR keterlaluan itu. Undang- undang itu bisa lahir karena persetujuan bersama DPR dan pemerintah (baca: Presiden).
Daulat rakyat, bukan daulat DPR
DPR periode 2014-2019 ini kinerjanya sangat buruk. Indikator kuantitatif dan kualitatif menunjukkan hal tersebut. Dalam kurun waktu tiga tahun sampai 2017, jumlah undang-undang (UU) yang dihasilkan DPR hanya 19 dari lebih dari 140 UU prioritas yang ditargetkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bandingkan dengan DPR periode sebelumnya yang masih lebih baik dengan menghasilkan 104 UU dari 352 yang ditargetkan.
DPR periode ini juga mengalami banyak masalah. Ada kesan menghalangi pemberantasan korupsi dengan cara membentuk Pansus Angket KPK yang dinilai publik merupakan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketuanya, Setya Novanto, menjadi tersangka megakorupsi KTP elektronik sehingga yang bersangkutan diganti. Sejumlah anggota DPR juga terkena kasus korupsi. Dalam catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), hanya selama 2017 saja ada 10 dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR.
Dengan berbagai masalah tersebut, DPR malah merencanakan membuat gedung dan kompleks DPR yang lebih mewah untuk kenyamanan kerjanya. Beberapa waktu lalu kita juga disuguhi berita ada anggota DPR yang meminta untuk dipanggil sebagai "Yang Terhormat" ketika sedang melakukan rapat dengan salah satu mitra kerjanya.
Dengan berbagai masalah itu, maka kehormatan anggota dan lembaga DPR menjadi rendah. Penyebabnya anggota DPR sendiri. Maka, tingkat kepercayaan rakyat kepada DPR adalah yang terendah dibandingkan dengan lembaga politik lain. Hasil jajak pendapat nasional dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) sepanjang 2014-2017 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada DPR selalu nomor buncit dibandingkan, misalnya, dengan TNI dan KPK.
Di tengah rendahnya kehormatan DPR tersebut, anggota DPR bersicepat melakukan revisi UU MD3 yang isinya adalah saling bagi kue kekuasaan antarsesama mereka. Tidak jelas, misalnya, apa dampak dari penambahan jumlah kursi pimpinan terhadap kinerja DPR. UU MD3 juga dipakai DPR untuk melindungi dirinya, misalnya dari pemanggilan KPK.
Yang terparah adalah DPR berusaha memasang tameng untuk melindungi dirinya dari rakyat. Pasal 122 (l) UU tersebut tegas akan menghukum siapa saja yang dianggap DPR merendahkan kehormatannya. Apa urgensinya DPR membuat aturan seperti ini? Masalah apa yang ingin diselesaikan DPR dengan aturan tersebut? Jawabannya: tak jelas!
Apa yang dimaksud merendahkan kehormatan DPR? Interpretasi dan proses atas soal ini bisa sangat subyektif. Ia berpotensi untuk jadi jurus "Dewa Mabuk" yang akan mengganyang siapa saja yang bersuara lantang dan tidak mengenakkan telinga anggota DPR. Dan, yang paling parah, ia akan membuat surut individu ataupun kelompok dalam masyarakat untuk bersuara, sekalipun anggota DPR mengatakan mereka tidak antikritik.
Apa pula pentingnya membuat aturan ini? Kalau ada anggota DPR yang merasa dihinakan atau dicemarkan namanya oleh individu atau kelompok masyarakat, bukankah sudah ada aturan hukum dan pasal yang mengatur soal pencemaran nama baik? Apa anggota DPR merasa tidak cukup dengan aturan tersebut? Kalau iya, mana kajiannya?
Tampaknya para anggota DPR lupa bahwa di negara ini sudah disepakati bahwa yang berdaulat itu rakyat. Kita menganut daulat rakyat, bukan daulat DPR.
Para anggota DPR lupa atau pura-pura lupa kalau mereka adalah wakil rakyat. Secara politik mereka bukanlah pejabat, melainkan pelayan rakyat. Kehormatan seorang pelayan rakyat terletak pada kemampuannya melakukan tugas pelayanan itu semaksimal mungkin. Bukan dengan mengeluarkan aturan yang memaksa rakyat untuk menghormati mereka. Mental anggota DPR masih mental ambtenaar (pejabat zaman kolonial) yang merasa kedudukannya lebih tinggi dan lebih mulia daripada rakyat.
Seharusnya anggota DPR itu merawat hubungan politiknya dengan rakyat, bukan mengembangkan pola hubungan yang legalistik melalui instrumen-instrumen hukum. Apalagi instrumen hukum untuk melindungi kehormatan anggota dan lembaga DPR sebetulnya sudah ada.
Kehormatan anggota DPR akan terjaga kalau dia terus-menerus berkonsultasi dengan rakyat. Mendengarkan apa keluhan rakyat. Memaklumi jika masih ada rakyat yang tak puas. Mengerti kalau tidak semua rakyat paham dengan prestasi yang dia buat sebagai anggota DPR. Juga tidak tipis telinga kalau ada rakyat yang bersuara keras. Juga tidak lelah untuk mengingatkan rakyat kalau mereka, dalam menyuarakan aspirasinya, berpotensi melanggar hukum, misalnya.
Merawat hubungan politik memang melelahkan. Akan tetapi, memang itulah tugas politisi. Menjadi politisi adalah "pekerjaan" tanpa libur dan tanpa jam kerja. Jam kerja politisi adalah 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Kalau anggota DPR tidak siap dengan itu, Anda tidak pantas atau minimal tidak cocok menjadi anggota DPR.
Reformasi DPR!
Memang, lembaga DPR dan partai politik adalah yang terlupakan atau dilupakan untuk direformasi sejak era Reformasi. DPR sibuk mereformasi lembaga lainnya, tetapi lupa atau pura-pura lupa mereformasi dirinya sendiri.
DPR kita memang sudah terlalu lama jauh dari rakyat. Mereka tampaknya memandang rakyat hanyalah sekumpulan pemberi suara yang mereka perlukan lima tahun sekali. Para anggota DPR tampaknya merasa mereka bukan bagian dari rakyat sehingga mereka curiga, rakyat itu, kalau bersuara, ada niat untuk merendahkan kehormatan mereka.
Maka, tidak ada jalan lain kecuali harus ada reformasi total terhadap DPR. Jalan itu harus dimulai melalui Pemilihan Umum 2019. Rakyat harus mencermati, partai mana saja yang secara malu-malu ataupun terang-terangan menganggap rakyat dalam perspektif permusuhan.
Ini tidak mudah, memang. Hampir semua partai tampaknya seiring sejalan dalam melindungi kepentingan masing-masing untuk mengamankan kekuasaan mereka. Akan tetapi, paling tidak rakyat dapat mencermati, misalnya, anggota DPR mana saja yang terlihat gila hormat. Apabila yang bersangkutan maju lagi dalam Pemilu 2019, maka harus disuarakan ramai-ramai agar dia tidak dipilih lagi alias dipecat oleh rakyat sebagai anggota DPR.
Media dan semua bagian dari masyarakat sipil (civil society) harus tanpa lelah dan masif menyuarakan agar anggota DPR yang dekat dengan rakyatlah yang dipilih. Selanjutnya, jika anggota DPR seperti ini yang terpilih, maka akan lebih mudah bagi rakyat untuk mendesakkan urgensi dari perlunya reformasi DPR, baik dari segi sistem maupun kelembagaannya.
Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
Kompas, 19 Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar