KOMPAS/ALIF ICHWAN

Bupati Subang Imas Aryumningsih dengan menggunakan rompi tahanan dan pengawalan petugas keamanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meninggalkan gedung KPK usai di periksa penyidik KPK di Jakarta, Kamis (15/2). KPK resmi menahan Bupati Subang Imas Aryumningsih beserta tiga tersangka lainnya yang terjaring OTT terkait suap pengurusan perizinan usaha di Pemkab Subang dengan komitmen suap sebesar Rp 4,5 Miliar.

Rentetan penangkapan kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi. Dalam satu bulan ini, KPK telah menangkap empat kepala daerah (Kompas, 15/2). Keempatnya, calon petahana. Menurut ICW, sebanyak 215 kepala daerah tersandung korupsi dalam kurun waktu 2010-2017.

Riset dari Rumesten (2014) menemukan, perilaku korupsi kepala daerah dipicu oleh gelaran pilkada secara langsung. Meski demikian, Rumesten tak setuju jika kemudian pilkada dikembalikan ke sistem tak langsung, karena pemilihan oleh DPRD tak mampu menekan perilaku korupsi kepala daerah.

Riset lain dari Edwin dan Darmawan (2011) menemukan, perilaku korupsi kepala daerah erat hubungannya dengan biaya kampanye yang diatur dalam UU No 32/2004. Sayangnya, riset itu tak dapat dijadikan sandaran karena dilakukan dalam konteks UU pilkada yang lama, sementara UU pilkada saat ini telah direvisi.

Mengapa korupsi oleh kepala daerah terus terjadi meskipun UU pilkada telah direvisi? Penulis berpendapat, meningkatnya kasus korupsi kepala daerah disebabkan oleh setidaknya dua hal: masih besarnya faktor uang berperan dalam menentukan kemenangan dalam pilkada dan masih lemahnya regulasi yang telah direvisi.

Secara teoretis, korupsi yang dilakukan elite politik disebabkan oleh besarnya peranan uang dalam proses pilkada. Aloysius Benedictus Mboi (2009) mengungkapkan, berdasarkan pengalaman, kandidat yang tak didukung sumber finansial yang kuat, hampir pasti tak akan terpilih. Demikian pula, partai tanpa dukungan uang, juga sulit dapat dukungan luas di masyarakat. Lanskap politik dan budaya politik dalam jangka pendek ke depan masih akan didikte oleh sosok atau partai-partai politik dengan dukungan uang terkuat ini.

Meningkatnya kasus korupsi kepala daerah disebabkan oleh setidaknya dua hal: masih besarnya faktor uang berperan dalam menentukan kemenangan dalam pilkada dan masih lemahnya regulasi.

Persson dan kawan-kawan (2003) berpendapat senada. Menurut mereka, politisi terpilih memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya berkaitan dengan pengeluaran untuk pemilih. Namun demikian, jika hanya karena soal uang saja, penjelasannya terkesan deterministik.

Faktor uang juga diperkuat oleh faktor lain, yaitu regulasi yang lemah. Janos Bertok (2008, dalam Firdaus, 2017) menyebutkan, eksistensi regulasi yang kuat (ditambah adanya pengawasan) dapat mencegah praktik korupsi. Dengan kata lain, regulasi yang lemah dapat mendorong dan menyebabkan terjadinya korupsi.

Lantas, bagaimana penjelasan tentang faktor uang dan lemahnya regulasi menyebabkan terjadinya korupsi oleh kepala daerah? Pertama, mengenai besarnya fulus yang mesti dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, pernah mengungkapkan, ketika dia bertanya kepada dua gubernur berapa biaya yang dikeluarkan selama pilkada, jawabannya ada yang menyebut Rp 60 miliar dan ada juga menghabiskan hingga Rp 100 miliar (Kompas, 18/1/2011).

Tujuh tahun kemudian, apa yang disampaikan Gamawan Fauzi, tak berubah. Sekjen PAN Eddy Suparno, dikutip media menyebutkan biaya politik dalam pilkada tinggi, termasuk untuk mengumpulkan massa dan menyiapkan nasi bungkus.

Besarnya biaya dalam pilkada bertalian dengan kesimpulan sementara yang didapat dari calon kepala daerah petahana yang menjadi tersangka korupsi baru-baru ini. Diduga kuat mereka menerima suap karena butuh biaya dalam pilkada. Makin besar biaya politik yang digelontorkan diasumsikan kian besar peluang calon meraup kemenangan.
Lemahnya regulasi

Kedua, regulasi pilkada di UU No 10/2016 masih longgar mengatur soal biaya yang dikeluarkan dalam pilkada dan perlakuan terhadap kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Jika sebelumnya di UU No 8/2015 bahan kampanye, alat peraga kampanye, iklan, dan debat publik yang diperbolehkan hanya yang didanai oleh negara lewat KPU, UU No 10/2016 justru mengizinkan adanya penambahan bahan dan alat peraga kampanye di luar yang ditanggung negara, dengan batasan yang sudah ditentukan.

Alasan perubahan aturan, yakni bahwa pembatasan pengeluaran kampanye membuat kampanye menjadi sepi, tak dapat dibenarkan. Hal ini mengingat kepentingan lebih besar, yaitu menekan jumlah dana kampanye, lebih penting didahulukan.

Selain lemah mengatur soal biaya kampanye, UU No 10/2016 juga tak memberi efek jera bagi tersangka korupsi. Seorang calon kepala daerah tetap dapat mengikuti pilkada. Bahkan, jika terpilih, ia tetap dapat dilantik. Seharusnya, seorang calon kepala daerah yang menjadi tersangka diwajibkan mengundurkan diri. Lemahnya regulasi seperti dijabarkan di atas linier dengan apa yang dimaksud oleh Bertok, yaitu pentingnya regulasi yang mumpuni untuk dapat menekan kemungkinan terjadinya korupsi.

Selain lemah mengatur soal biaya kampanye, UU No 10/2016 juga tak memberi efek jera bagi tersangka korupsi.