KUM

Prasetyantoko

Majalah terkemuka The Economist edisi khusus akhir 2017 meramalkan, 2018 akan diwarnai dua kecenderungan besar: ketidakpastian politik dan pesatnya kegairah- an pada teknologi.
Kecenderungan pertama merujuk pada sikap inward-looking, proteksionis dan anti-global yang marak di banyak sudut dunia, seiring menguatnya tuntutan warga lokal yang cenderung primordial.

Situasi ini diyakini menyuburkan semangat populisme. Sementara, gairah pada teknologi membuat sebagian orang berpandangan manusia harus bersinergi lebih intensif dengan teknologi agar memperoleh makna lebih mendalam.

Dalam gejala lebih ringan, manusia merasa tak bermakna tanpa bantuan teknologi. Pada fase sebelumnya, minat pada penemuan bertumpu pada pencangkokan kecerdasan (buatan) biologis pada benda fisik. Hasilnya, berbagai inovasi di bidang robotik dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan segala variasinya.

Pada masa mendatang, orientasinya justru menambah kapasitas biologis (manusia) melalui rekayasa teknologi. Kecenderungan ini dinamai sebagai gejala transhumanisme. Jika selama ini kita mengenal realita yang dimodifikasi (ditambahkan) oleh teknologi, nanti manusia itu sendiri yang akan menjadi bagian integral dari augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).

Benarkah masyarakat dunia tengah bergerak pada pendulum besar, antara populisme dan transhumanisme? Lalu, di mana para intelektual (akademisi) dan dunia perguruan tinggi berdiri?

"Techlash"

Majalah The Economist menggunakan istilah "techlash" untuk menandai masa di mana pemilik teknologi akan menjadi penguasa, tak hanya secara ekonomi, namun juga politik, sosial dan budaya. Teknologi akan menjadi panglima.

Dan mengingat bahwa teknologi, yang sebenarnya bersifat netral, dipuja begitu rupa oleh para penemu (perancang), pengikut (pengguna) serta pihak yang diuntungkan (interest group), maka kemajuan teknologi tak lagi bisa dipungkiri. Peradapan tak mungkin lagi tanpa teknologi.

Elon Musk, seorang miliarder sekaligus pemilik perusahaan teknologi tinggi terkemuka Tesla menggaungkan kebutuhan integrasi manusia dengan mesin. Dia berargumen, otak dengan komputer harus dipersatukan secara intensif; jika tidak, berbagai penemuan menjadi tak ada relevansinya.

Merger antara manusia dengan komputer sudah bisa dimulai sejak benih manusia paling kecil (DNA) dipersiapkan di laboratorium. Kita bisa mempersiapkan manusia jenius di berbagai bidang dengan cara "mengedit" DNA-nya. Sel manusia juga bisa "diedit" guna menghindari penyakit, seperti kanker, diabetes atau penyakit turunan lainnya. Spesies (baru) manusia sedang dipersiapkan oleh para pemuja teknologi ini.

Secara sederhana transhumanisme adalah sebuah gerakan intelektual yang menyakini perubahan (tranformasi) manusia hanya bisa dilalui dengan cara mengadopsi teknologi secara intensif.

Manusia menjadi kian utuh jika kapasitas otaknya bisa diperbesar beberapa kali lipat dengan bantuan komputer. Ada juga niatan untuk menanam perangkat digital dalam tubuh manusia, sehingga tak perlu lagi membawa perangkat fisik. Manusia dan cyborg akan makin serupa, hanya soal derajat komposisi saja yang berbeda. Keduanya adalah gabungan antara human dan teknologi.

The Economist edisi 6 Januari 2018 memuat laporan utama The next frontier, menceritakan penemuan baru yang bisa menggabungkan otak dengan kerja komputer. Nantinya, komputer bisa diperintah langsung oleh otak tanpa perantara lagi. Penemuan ini akan membawa pada situasi di mana pikiran bisa mengontrol mesin.

Sebelumnya, pada edisi 9 September 2017, The Economist merilis laporan Nowhere to hide, di mana mesin bisa membaca kepribadian dan latar belakang personal manusia dari kontur mukanya (faceprint).

Hanya dengan kamera pemantau, semua karakter dan latar belakang seseorang bisa digali. Teknologi ini berguna untuk mendeteksi penjahat, teroris atau buron politik. Tak hanya itu, teknologi ini bahkan bisa membaca orientasi seksual seseorang.

Lalu, ke mana manusia akan sembunyi?   Berbagai penemuan di garis depan memang membanggakan, sekaligus mencemaskan. Dunia begitu cepat bergerak dan pergumulan antara faktor fisik, digital dan biologi seakan tak bisa dicegah lagi, memasuki wilayah begitu jauh yang tak terjangkau sebelumnya. Dunia akan tunggang langgang dengan berbagai kemajuan teknologi. Lalu di mana manusia sendiri?

Kepedulian

Ketika hampir semua hal yang tadinya tak terpikirkan sudah mulai bisa direalisasikan, lalu manusia ada di mana? Tentu ini bukan pertanyaan spiritual dan teologis semata, namun juga soal relasi antar-manusia (masalah sosial). Teknologi sering mengecoh dengan mengatakan, kemajuan telah membuat semua terdesentraliasi, sehingga dunia kian demokratis.

Penemuan teknologi bernama blockchain, misalnya, memungkinkan pemberi jasa (produsen) dan penerima jasa (konsumen akhir) bisa berinteraksi langsung tanpa penghubung (middle-man). Dunia manajemen akan terguncang jika teknologi ini mulai diterapkan secara masif. Bayangkan, perusahaan asuransi bisa memberikan premi secara individual setelah mampu menilai profil risiko secara personal tanpa perlu bantuan agen lagi.

Demikian juga perbankan dan sektor keuangan lain, proses bisnis di tengah bisa dipotong secara radikal, sehingga aktivitas bisa benar-benar ringkas. Benarkah sistem yang terdesentralisasi secara radikal menguntungkan semua pihak?

Jangan lupa, pemilik akhir dari seluruh dinamika ini hanyalah segelintir pihak saja. Fenomenanya serupa terjadi dengan gejala sharing-economy yang sering dirujuk sebagai sistem yang menyetarakan banyak (semua) pihak. Namun, pemilik akhir dan ujung dari dinamika itu tetap mengerucut pada pelaku-pelaku utama, seperti pemilik Uber, AirBnB dan sebagainya.

Disrupsi merambah hampir semua sisi kehidupan, sebagai implikasi dari revolusi teknologi, kecerdasan buatan serta pemanfaatan data. Belakangan, Amazon, Berkshire Hathaway dan JP Morgan Chase sepakat membuat perusahaan patungan di bidang kesehatan. Bisnis kesehatan dan asuransi akan segera terdisrupsi.

Lalu ke mana dunia akan bergerak? Jika manusia terlalu terobsesi pada mesin, teknologi dan berbagai penemuan di garis depan saja, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, gejala ini sungguh merisaukan.

Benturan antara kelompok yang tak memiliki akses dan pelaku yang makin dominan posisi kepemilikannya menjadi tak terelakkan. Kemajuan teknologi hanya akan menciptakan kesenjangan yang kemudian memicu persoalan sosial.

Jika manusia terlalu terobsesi pada mesin, teknologi dan berbagai penemuan di garis depan saja, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, gejala ini sungguh merisaukan. Benturan antara kelompok yang tak memiliki akses dan pelaku yang makin dominan posisi kepemilikannya menjadi tak terelakkan. Kemajuan teknologi hanya akan menciptakan kesenjangan yang kemudian memicu persoalan sosial.

Pertanyaan paling serius: ke mana universitas harus bergerak? Akankah kampus yang seharusnya berisi para intelektual dan akademisi akan terus digiring menjadi pemuja teknologi, atau sebaliknya menjadi katalisator teriakan kelompok partikular dengan sikap primordial. Tentu tidak keduanya.

Karena itu, seluruh proses dan dinamika di universitas haruslah mengedepankan humanisme yang proporsional. Teknologi adalah perangkat dan tata cara yang diciptakan manusia. Pada akhirnya, dia harus digunakan untuk melayani keperluan yang dianggap penting oleh para pelakunya. Maka, membentuk watak para pelaku adalah kunci utama.

Di negara berkembang seperti Indonesia ini, di mana akses keuangan masih langka, kemajuan teknologi digital bisa diarahkan untuk turut menyelesaikannya. Sekolah bisnis bisa mengajarkan pendekatan teknokrasi manajerial yang diarahkan untuk memecahkan persoalan sosial.

Pendekatan socio-entrepreneurial ini berkembang di banyak tempat. Bahkan, mulai banyak upaya mendirikan usaha rintisan (start-up) dalam rangka turut serta menyelesaikan persoalan sosial.

Intinya, syaraf kepekaan pada lingkungan sosial harus dikembangkan hingga pada tataran konkret, berupa tindakan nyata. Tanpa itu, gejala transhumanisme akan menguat. Jangan heran kalau penganut ajaran ini kian banyak yang menduduki posisi penting, baik secara politik, sosial, kebudayaan, bahkan keagamaan. Tak hanya dinamika perekonomian, peradaban dunia pun tengah mencari keseimbangan baru.