Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Februari 2018

Surat Kepada Redaksi: Izin Usaha Mainan//Pungutan Liar di Kelurahan// Pembatalan Validasi Haji (Kompas)


Izin Usaha Mainan

Saya pernah ingin mencoba usaha mainan. Rupanya ada kendala: untuk mendapat Standar Nasional Indonesia pada mainan impor, dibutuhkan sertifikat merek yang diterbitkan oleh Hak Kekayaan Intelektual atau surat pendaftaran merek yang disertai dengan surat persetujuan lisensi antara pemilik merek dan pemasok atau importir.

Saya sepakat bahwa mainan memerlukan sertifikat SNI. Namun, terkesan bahwa sertifikasi ini menjadi monopoli perusahaan besar karena jika suatu mainan sudah didaftarkan SNI-nya oleh sebuah perusahaan, yang lain tidak bisa mengimpor produk yang sama jika tidak bisa memenuhi kedua syarat di atas. Banyak barang dan harga yang dimonopoli perusahaan importir besar.

Perlu diketahui, untuk pembelian mainan dalam jumlah terbatas, tidak semua pembeli bisa memperoleh surat lisensi impor dan sertifikat merek dari produsen. Saya pernah ingin mencoba mengurus SNI suatu mainan: sangat mahal biayanya, bisa mencapai Rp 20 juta per kiriman. Jika mainan yang diimpor nilainya hanya Rp 30 juta, tepatkah SNI mainan diterapkan?

Saya juga merasa bahwa upaya pembuatan sertifikat SNI ini berbelit-belit dengan berbagai syarat, seperti API, NPWP, TDP, NIK, SIUP, akta pendirian perusahaan, dan tentu saja KTP. Bahkan, untuk pembelian daring satuan pun, jika barangnya dari luar Indonesia, masih perlu SNI. Bukankah lebih baik bagi sebuah produk yang merek dan kualitasnya sudah dikenal tidak lagi diperlukan sertifikat SNI?

Di saat presiden kita ingin menyederhanakan birokrasi untuk usaha, SNI mainan masih jauh dari kata mudah. Mohon Kementerian Perindustrian dan pihak terkait mengkaji ulang kebijakan SNI ini.

Hendra, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara

Pembatalan Validasi Haji

Pada Selasa, 30 Januari, pagi, saya berada di Kantor Kelurahan Drajat, Cirebon, untuk mengurus surat N1, N2, dan N4 guna keperluan pencatatan sipil perkawinan.

Seseorang bernama M menghubungkan saya dengan Pak S yang mengurusi perkawinan dan menyarankan untuk menyiapkan amplop berisi uang Rp 50.000. Padahal, setahu saya, tidak ada biaya apa pun untuk itu. Kalau memang ada biaya, saya minta bukti tanda terima, tetapi M berkata tak perlu pakai nota segala.

Betul, urusan saya tidak beres sampai akhirnya saya terpaksa memenuhi saran M.

Hata, Kesambi, Cirebon, Jawa Barat

Pungutan Liar di Kelurahan

Pada 2009, saya mendaftar dan baru berangkat naik haji 2013. Pada 5 Juli 2017, istri saya, Sri Rejeki, mendaftar naik haji di Bank Jatim Syariah, Ngawi. Saya juga mendaftar dengan alasan mendampingi istri saya dan kemudian mendapat validasi dengan nomor 1.1417 1E.19. Istri saya mendapat nomor porsi, sedangkan saya tidak karena baru empat tahun naik haji.

Saya diberi tahu oleh pegawai Kementerian Agama untuk membuat surat pembatalan validasi ke Kementerian Agama di Jakarta melalui Kementerian Agama Kabupaten Ngawi.

Selanjutnya saya dibukakan aplikasi untuk memantau aplikasi haji Kementerian Agama. Surat saya rupanya sudah sampai di Kementerian Agama Jakarta pada 7 Juli 2017 dengan Nomor B.1993/KK.123/15/5 H.

Di sana tercantum pembatalan validasi, tetapi belum ada pengembalian uang pendaftaran haji. Mengingat waktunya sudah enam bulan, mohon Kementerian Agama memerintahkan staf yang menangani pendaftaran haji untuk memberikan surat perintah bayar kepada Bank Jatim Syariah Jawa Timur agar mengembalikan uang pendaftaran haji saya.

Lagimin, Jalan Hasanudin Gang Ciliwung, Margomulyo, Ngawi, Jawa Timur

Kompas, 12 Februari 2018


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger