Sebagai bangsa Indonesia kalian pasti bangga tentang wayang, kan? Bukankah wayang sudah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Pasti teman-teman se-Indonesia juga bangga tentang batik, tarian Bali, dan kekayaan budaya Indonesia lainnya. Namun, bukankah kita keliru?
Hadapilah saja kenyataan. Berapa persen di antara kita pernah menghadiri dan menikmati pementasan wayang di dalam dua tahun terakhir ini? Saya berani memberi angka: tak lebih dari satu atau dua persen. Dan berapa di antara kita yang menjadikan wayang acuan perilaku? Lebih sedikit lagi. Kajian Stratum 2 dan Stratum 3, kajian budaya satu universitas terkenal sekalipun belum mampu melihat gerusan pengetahuan yang digantikan oleh identitas. Maka, yang terjadi adalah. Semakin unsur budaya tradisional lenyap dari realitas sosial, semakin ia cenderung digantikan oleh pernyataan identiter. Itulah kenyataan paradoksal tetapi obyektif dari Indonesia pada masa kini. Segalanya berbau kian identiter, terutama suku dan agama.
Budaya-budaya tradisional tak terelakkan memang mundur, selaras dengan mundurnya budaya agraris, dan diganti dengan budaya dan perilaku modern. Hal itu terjadi di seluruh dunia dan tidak harus dramatis. Tetapi tak jarang dibayar mahal: sistem simbolis tradisional yang tadinya memberikan makna pada kehidupan rakyat tidak digantikan oleh sistem simbolis baru atau oleh pengetahuan yang multikompleks. Ia digantikan oleh rumus-rumus ikonik primer yang sarat identitas. Racunnya lalu disemburkan ke mana-mana dengan menumpang sistem media modern-yang memang salah satu ciri utamanya adalah "memproduksi keterpihakan".
Wong cilik kehilangan dunia simbolis tradisionalnya tanpa diberikan pengetahuan yang cukup memadai untuk memahami modernitas ataupun untuk menggali dari buku-buku suci pelajaran spiritual multikompleks yang sebenarnya merupakan hakikatnya. Dia seolah "terpaksa" menghadapi realitas dengan sorot mata identiter dan kata-kata ikonik yang sempit maknanya. Misalnya dibantu potongan ayat siap pakai, satu umat serta-merta dijadikan identik dengan berseberangan. Kalau di smartphone atau di TV tafsir-tafsir kompleks atau simbolis, yang hadir di dalam tradisi lama tidak laku lagi….
Sebenarnya tafsir kompleks dari agama itu masih berdaya "dijual", tetapi di lingkungan sosiologis yang lain: di kelas menengah dan menengah atas. Anggota kelas itu sibuk membicarakan pluralisme, tafsir kontekstual dan HAM. Tetapi mereka abai terhadap keperluan redistribusi kekayaan dan keadilan sosial. Maka, tidak mengherankan bila segala seruan pro-toleransi dan penisbian dipersepsikan sebagai kedok untuk mengeksploitasi rakyat.
Di dalam kaitan dengan ini, menarik dicatat, agaknya lapisan masyarakat wong cilik, yang dulu mendukung wacana sosialisme revolusioner, kini untuk sebagian kian besar, mendukung wacana milenaris "kembali ke abad ke-7". Dulu utopianya diproyeksi ke masa depan: kita akan mendirikan bangsa dan dunia yang adil nan makmur. Kini utopia diproyeksi ke belakang: kita harus kembali ke masa lalu yang pernah ideal. Sama-sama tidak realistis. Tetapi juga pertanda dari kegagalan.
Melihat jarak sosiologis yang kian menganga antara wong cilik dan kaum menengah, dan melihat cara wacana "agama" dijadikan sarana gugatan sosial, apakah Indonesia mendekati situasi ketakstabilan politik. Belum waktunya, oleh karena fenomena sosiologis yang kita kedepankan di atas-demam identiter, ikonisasi agama, punahnya simbolisme-simbolisme lama-belum sepenuhnya matang. Bahayanya akan muncul 10-15 tahun lagi, ketika anak-anak yang kini diajarkan agama tanpa acuan simbolis tradisional dan tanpa pengetahuan tentang multikompleksitas akan menjadi dewasa di bawah pengaruh smartphone yang kemungkinan kian menggila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar