Tidak tiba-tiba, saya merasa kangen kepada Oom Pasikom, tokoh kartun di Kompas karya GM Sudarta. Tidak tiba-tiba karena beberapa waktu lalu, Oom Pasikom masih muncul pada hari Sabtu.
Oom Pasikom memberi gambar dan gambaran pendekatan yang pada awal tahun 1970-an menjadi referensi. Terutama bagi pembaca generasi muda harian ini yang mulai mengenal masalah politik, seni, sosial yang dimemekan (sebelum istilah meme kita kenal) dengan cara dan gayanya yang khas.
Oom (saat itu diucapkan sebagai "um" dan merupakan sapaan untuk lawan bicara sebagaimana kita sekarang menggunakan sebutan "bro" atau "coi") bisa dirasa menjembatani antara keluhan dengan kritik yang mengitik-itik dan kegelian itulah membuat bisa tersenyum.
Oom Pasikom hadir dalam rumusan after the curtain down, setelah layar turun, setelah melihat, kita mencerna apa yang sesungguhnya terjadi sebagai tafsiran. Saya waktu itu tergoda melihat apa yang dikarikaturkan setelah mendengar atau membaca berita tertentu.
Mungkin itu yang membuat kangen. Mungkin karena sekarang musim OTT, operasi tangkap tangan, atau tangan tak terlihat dalam benturan umat, atau peristiwa yang dimemekan di media sosial menjadi seram, membelah kelompok, dan malah saling memusuhi.
Saya kangen cara Oom Pasikom menyikapi peristiwa sekarang ini.
Saya sampaikan kangen ini karena kangen bukan penghinaan.
Arswendo Atmowiloto
Jalan Damai, Jakarta Selatan
"Kepo"
Melalui Udar Rasanya di Kompas, 18 Februari lalu, wartawan-cum-kolumnis Bre Redana sedikit buka-diri kepada kami, sidang pembaca Kompas.
Ia wartawan, sudah pensiun, dulu kuliah (atau punya teman) di Salatiga, ada dosennya yang berpesan "Ngono ya ngono ning aja ngono", kenal suasana "solotigo naliko semono", dan tahu tentang adanya "mampus" (majalah kampus) Gita Mahasiswa.
Saya menduga-duga, Bre Redana itu nom de plume, usianya tak lebih dari 67 tahun, dan tahu bahwa Gita Mahasiswa bersaing dengan "mampus" lain yang kritis, yakniImbas.
Saya "kepo", nih, benar-benar pengin tahu apakah dugaan saya itu benar. Adakah sesama pembaca Kompas, khususnya para penggemar kolom Udar Rasanya Bre Redana, yang berkenan mengobati "kekepoan" (nieuwsgierigheid) saya?
Mungkin Dr Irwan Julianto (mantan wartawan Kompas), atau Dr Herman J Kanalebe (UPH), atau Dr Matias HW Budhiantho (U Matana) dapat membantu "memecahkan teka-teki" ini?
L Wilardjo
Kampung Klaseman,
Salatiga, Jawa Tengah
Istilah yang Kurang Tepat
Pada artikel yang tersua di rubrik OpiniKompas edisi 17 Februari lalu, "Ketika Segala Berubah" oleh Radhar Panca Dahana, terdapat terjemahan istilah yang, menurut kami, kurang tepat.
Artikel itu sendiri sangat menarik. Untuk menggambarkan situasi dunia yang kini berubah serba cepat, penulis menggunakan istilah-istilah fisika.
Pada kalimat pertama paragraf ketiga terdapat kalimat: "Hidup kita di zaman yang berlari tidak lagi dengan kecepatan (speed), tetapi percepatan (velocity)…".
Dalam fisika yang diajarkan dan dipelajari di Indonesia, istilah kecepatan merupakan terjemahan dari velocity, sedangkan istilahpercepatan merupakan terjemahan dariacceleration. Adapun speed biasanya diterjemahkan sebagai laju. Jadi, terbalik dengan apa yang ditulis Radhar Panca Dahana.
Semoga tanggapan ini mendapat tempat di rubrik Surat Kepada Redaksi. Atas perhatian Redaksi, kami ucapkan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar