Di tahun politik, Presiden Joko Widodo dihadapkan pada situasi yang tidak mudah menyusul disahkannya UU mengenai Lembaga Perwakilan oleh DPR.
UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sering disingkat UU MD3 atau bisa disebut UU Lembaga Perwakilan mengandung sejumlah masalah. Semangat dasar revisi UU MD3 adalah memperkuat dan menambah kewenangan DPR, memperkuat posisi anggota DPR dengan diberikannya hak imunitas. Namun, di sisi lain ada pasal yang "mengancam" rakyat untuk tidak mengkritik DPR karena bisa dianggap merendahkan martabat DPR.
Revisi UU MD3 itu menjadikan DPR lembaga super. Dalam Pasal 73, misalnya, DPR diberi kewenangan memanggil paksa lewat bantuan Polri terhadap setiap orang yang dipanggil DPR dan tidak datang. Polri bisa menyandera mereka selama 30 hari! Wakil rakyat bisa menyandera rakyatnya!
Dalam Pasal 74 disebutkan, rekomendasi DPR dalam setiap tingkatan rapat bersifat mengikat dan harus ditindaklanjuti pemerintah. Jika tidak ditindaklanjuti, DPR bisa menggunakan hak DPR lainnya, seperti hak angket, interpelasi, sampai hak menyatakan pendapat. DPR berhak meminta Presiden memberikan sanksi kepada pejabat yang tak melaksanakan rekomendasi DPR. Pemanggilan anggota DPR yang tersangkut kasus hukum, meski ada yang dikecualikan, harus lewat Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan izin tertulis Presiden. Sementara MKD bisa bertindak atas nama DPR, mengambil tindakan hukum atau tindakan lain kepada siapa pun yang merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.
Anggota DPR sukses menjadikan lembaganya sendiri super. Lembaga nir-pengawasan. Padahal, realitas sosiologis menunjukkan capaian legislasi rendah, ada anggota DPR terkena kasus hukum, ruang sidang paripurna kadang kosong. Menurut sejumlah survei, persepsi publik terhadap DPR tidak baik.
Sejumlah pasal dalam UU MD3 bermasalah. Di sinilah kompleksitas persoalannya. Presiden Joko Widodo, dikabarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, kemungkinan tidak akan menandatangani undang-undang. Langkah itu bisa membuat relasi dengan parlemen menjadi tidak baik. Secara konstitusi, kendati Presiden tidak tanda tangan, undang-undang akan berlaku. Jika Presiden tidak tanda tangan, secara moral Presiden menunjukkan sikapnya yang tidak setuju dengan beberapa pasal dalam undang-undang. Masalahnya adalah bagaimana sebenarnya komunikasi Presiden dengan Menteri Hukum dan HAM yang mewakili pemerintah? Apakah menteri jalan sendiri?
Sebaliknya, jika Presiden menandatangani undang-undang, Presiden bisa dipandang setuju dengan undang-undang yang diprotes masyarakat. Namun, sebenarnya ditandatangani atau tidak, Presiden bisa langsung mengajukan lagi revisi UU atau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Namun, harus didahului komunikasi politik dengan pimpinan partai dan DPR untuk tercapai satu kesamaan pandangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar