Menjelang masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada), tim sukses setiap calon tentu sudah mengusung materi yang akan disajikan saat masa kampanye mendatang. Dari sekian banyak isu mengenai kesehatan ibu dan anak, yang harus mendapat perhatian lebih adalah terkait isu kekurangan gizi kronis pada anak balita (stunting).
Dalam rilis data kesehatan terakhir, pada 24,5 juta anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Indonesia, sekitar 9 juta atau 37 persen mengalami stunting. NTT dan Papua Barat adalah provinsi dengan populasi penderita terbesar di Indonesia.
Stunting sangat membahayakan pertumbuhan generasi anak Indonesia. Bukan hanya perkara tinggi badan, melainkan lebih dikarenakan kondisi ini sangat mengancam perkembangan intelektualitas anak. Ia menghambat pertumbuhan otak anak, yang seharusnya dalam tiga tahun pertama kehidupan dapat mencapai 80 persen (Syafiq, 2017).
Pada pembahasan RAPBN 2018, dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengurangi dampak kekurangan gizi kronis akibat stunting. Anak Indonesia ke depan harus memiliki kesungguhan dalam belajar, berinovasi, dan berkompetisi. Sehubungan dengan itu, kasus kematian puluhan anak balita akibat gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, barangkali menjadi contoh nyata bahwa belum semua pemerintah daerah menitikberatkan pada akses penjaminan kesehatan. Alhasil, akses pemerataan terkait angka kecukupan gizi anak di Indonesia masih menemui banyak kendala.
Akibat minim pengetahuan
Penyebab stunting yang paling utama sesungguhnya adalah pengetahuan yang minim akan ketercukupan gizi dan daya pikir yang rendah dalam mencukupi kebutuhan konsumsi anak. Pola asuh yang tak sesuai menyebabkan asupan gizi jadi kurang serta pola hidup yang tidak bersih rentan menularkan infeksi bakteri/ kuman.
Dalam kasus penderita gizi buruk di Asmat, sejak dalam kandungan pun mereka menderita akibat pola makan yang kurang gizi (mengonsumsi makanan instan) dan akses penghasilan ekonomi yang buruk (Kompas, 20/1) sehingga pemenuhan gizi bagi ibu hamil jadi kolaps. Selain itu, pernikahan muda (di bawah 18 tahun) mengakibatkan kualitas kehamilan yang rendah serta pola pengasuhan yang relatif terbatas. Semakin muda usia perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting.
Bayi atau anak yang menderita stuntingakan tetap tumbuh, tetapi garis pertumbuhannya tetap berada di bawah bayi atau anak dengan gizi baik. Penyebabnya sederhana, kekurangan gizi dalam waktu lama pada periode 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak balita atau sekitar sejak fase kehamilan (270 hari) hingga mencapai usia dua tahun (730 hari). Kondisi ini tentu butuh komitmen sungguh-sungguh dan implementatif terhadap kebijakan yang ada.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang sudah dicanangkan pemerintah semestinya diikuti rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang nantinya akan diterapkan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, jika tak terlaksana dengan baik, kepala daerah dapat dikenai sanksi berupa teguran tertulis hingga pemberhentian sementara, sesuai PP No 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Maksimalkan produktivitas posyandu
Kebijakan terhadap pencegahan stuntingtentu harus diimplementasi melalui kebijakan daerah. Sehubungan dengan reorientasi program pemerintah daerah pasca-kontestasi pilkada, hal ini jadi momen agar platform kebijakan untuk mewujudkan daerah zero stuntingterwujud.
Peran ini dapat dilakukan oleh komunitas-komunitas masyarakat serta ibu-ibu PKK dan aktivis perempuan dengan memberikan usulan program sekaligusendorsement bagi pertumbuhan anak-anak Indonesia masa depan. Pertama,pemerintah hendaknya memberikan ruang lebih banyak bagi remaja putri dalam bentuk pelatihan produktivitas, juga menyediakan lapangan kerja agar lebih banyak ruang dalam beraktivitas sehingga mampu menghasilkan ekonomi yang mandiri. Selain itu, pemberian beasiswa bagi remaja putri yang tidak mampu akan membantu menghasilkan daya saing prestasi yang produktif. Imbauan agar tak menikah di usia dini (18+) juga menjadi salah satu komitmen yang harus disepakati bersama.
Kedua, ciptakan layanan makanan tambahan pos pelayanan kesehatan terpadu yang efisien dan bergizi. Selama ini pemberian makanan tambahan hanya 1 roti/1 paket kacang hijau/1 puding. Perlu terobosan seperti pemberian telur rebus, susu cair, atau makanan kombinasi olahan susu (keju, makaroni, dan sebagainya) agar setiap bayi dan anak balita yang ke posyandu mendapatkan suplementasi mikronutrien tambahan gizi yang substantif. Juga pendampingan terhadap ibu hamil.
Untuk mewujudkan anak Indonesia yang cerdas, sehat, dan produktif diperlukan rangkaian kerja nyata yang substantif dan berpihak pada kebutuhan pemenuhan gizi ibu dan anak. Dengan demikian, kerja kepala daerah terpilih sungguh nyata dalam menciptakan generasi unggul yang hebat dan cerdas. Jangan sampai janji-janji kampanye pilkada hanya palsu, apalagi menelantarkan jutaan anak Indonesia yang kelak menjadi calon pemimpin genuine gemilang bagi Indonesia masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar