Di era industri 4.0 fisika-digital-biopolitik terintegrasi, kinerja suatu negara dinilai secara komprehensif, meliputi Produk Domestik Bruto (PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kemampuan menyelenggarakan ajang seperti Asian Games, Olympic Games dan Piala Dunia serta menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi multilateral seperti APEC, G-20 serta sidang gabungan Bank Dunia/IMF.
Sidang tahunan Bank Dunia/Dana Moneter Internasional (IMF) digilir setiap tiga tahun di pelbagai kota di luar Washington DC yang secara tradisional menjadi kantor pusat dan penyelenggara dua sidang tahunan Bank Dunia/IMF secara berurutan.
Sejak 1947 di London dan 1950 di Paris, hajatan sidang tahunan Bank Dunia/IMF telah bergilir ke 10 negara Asia, 10 negara Eropa, empat negara di benua Amerika non-AS dan Kenya (1973).Dua kota Asia pernah dua kali jadi tuan rumah (host) yaitu Istanbul (1955 dan 2009 ) dan Tokyo (1964 dan 2012).
Bali lokasi non-AS ke-25 setelah Mexico City (1952), Istanbul (1955), New Delhi (1958), Vienna (1961), Tokyo (1964), Rio de Janeiro (1967), Copenhagen (1970), Nairobi (1973), Manila (1976), Beograd (1979), Toronto (1982), Seoul (1985), Berlin (1988), Bangkok (1991), Madrid (1994), Hongkong (1997), Praha (2000), Dubai (2003), Singapura (2006), Istanbul (2009), Tokyo (2012), Lima, Peru (2015).
Di tengah kemelut tahun politik, Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) merasa perlu mengingatkan bahwa kita tidak boleh terpukau sebagai penyelenggara (event organizer/EO), sama dengan Asian Games, tetapi harus pula berkinerja dalam substansi seperti perolehan medali Olympic Games atau Asian Games.
Polemik dan kritik yang meremehkan dampak ekonomi pertemuan Bank Dunia/IMF di Bali sempat muncul dari pihak tertentu, sehingga pemerintah harus sibuk menjelaskan dampak kehadiran 15.000 peserta sidang yang akan membelanjakan sekitar Rp 4 triliun. Artinya, biaya yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 868 miliar atau kurang dari Rp 1 triliun, pasti akan "dinikmati" oleh ekonomi masyarakat Bali empat kali lipatnya.
Konstelasi global
Bank Dunia/IMF ibarat dua perusahaan terbuka (PT) yang sekarang dimiliki 189 negara. Dua lembaga ini lahir tahun 1944/1945. Pendiriannya mencerminkan konstelasi arsitektur finansial global dengan dominasi AS serta Eropa, yang waktu itu mengalami kondisi kehancuran karena Perang Dunia II.
Kontelasi dunia telah berubah, tapi komposisi saham negara anggota tetap stagnan dan alot sekali perubahannya. Ini karena negara dominan seperti AS dan Uni Eropa tidak rela mengalami penurunan drastis kuota sahamnya, proporsional dengan kebangkitan ekonomi Asia dan negara non-Eropa lainnya.
Sekarang ini sedang berlangsung Review ke XV dari kuota Bank Dunia/IMF yang dijadwalkan akan difinalkan di sidang Bali agar bisa ditandatangani pada 2019 dan berlaku pada 2020. Dalam Review ke-XIV 2010, Indonesia berada di ranking ke 22 dengan voting 1,03 persen dan modal setor 2,3 miliar dollar AS.
Posisi 20 besar memang mengalami transformasi dengan peringkat sebagai berikut: 1. AS, 2. Jepang, 3. Tiongkok, 4. Jerman, 5. Inggris, 6. Perancis, 7. India, 8. Rusia, 9. Saudi Arabia, 10. Italia, 11. Kanada, 12. Belanda, 13. Spanyol, 14. Brasil, 15. Meksiko, 16. Korea, 17. Belgia, 18. Iran, 19. Swiss, 20. Austria, dan 21. Turki.
Kelompok 22 negara dengan kuota di atas 1 persen ini menguasai 71,79 persen kuota voting. Sebanyak 20 negara lain dengan kuota di atas 1 miliar dollar AS punya 12,44 persen kekuatan voting sehingga totalnya 84,23 persen. Akan tetapi, di antara negara dengan saham antara 100.000 dollar AS – 999.000 dollar AS, terdapat Singapura kini dengan modal setor 557 juta dollar AS dan Uni Emirat Arab 534 juta dollar AS dan Filipina 990 juta dollar AS.
Posisi dan sikap Indonesia
Karena Review XV berjalan alot maka pada 16 Januari 2016 Tiongkok bersama 63 negara termasuk Indonesia dan India —meski tidak didukung oleh Jepang dan AS — mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk membiayai pembangunan infrastuktur Trans-Euro Asia. Menghidupkan kembali Jalur Sutra Darat maupun Maritim dalam Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR). Sementara Jepang dan AS tetap mempertahankan eksistensi Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam kompetisi mengimbangi OBOR dengan kerja sama Indo Pacific Development (AS, Jepang, merangkul India).
Dalam kompetisi global antara AS, Jepang, Uni Eropa, BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) dan kekuatan menengah seperti Meksiko, Iran dan Korea, bagaimana Indonesia memosisikan diri dan melakukan leveraging, tawar-menawar (bargaining) dan lobi (lobbying) untuk memanfaatkan transformasi arsitektur finansial global?
Menurut PDBI, peristiwa sidang Bank Dunia /IMF ini selayaknya disikapi oleh elite pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk oposisi dan lawan politik pemerintahan yang berkuasa (petahana), untuk berjiwa besar dengan memberikan masukan pemikiran substansial strategis tentang penambahan kuota RI dalam Review ke-XV yang mulai akan digulirkan pada sidang di Bali, Oktober 2018.
Jangan sampai kita cuma asyik mengkritisi tetek-bengek budget yang dianggarkan, apakah bisa "untung" secara mikro antara yang dikeluarkan APBN dan dampak dari 15.000 peserta sidang sebagai turis. Seperti ajang Asian Games, jangan cuma bicara soal untung-rugi dan sukses sebagai EO, tetapi apa kita bisa masuk lima besar pengumpul medali emas.
Peristiwa sidang Bank Dunia /IMF di Bali punya makna geoekonomi dan geopolitik strategis substansial, yakni bagaimana Indonesia harus bisa menikmati Review XV dengan penambahan kuota kita di Bank Dunia/IMF, sehingga hajatan Oktober 2018 itu benar-benar akan bermakna meningkatkan daya ungkit (leverage) dan posisi kita.
Delegasi RI tentu sudah harus mulai menggarap substansi untuk komite pengarah (Steering Commitee) pada sidang musim semi (Spring Meeting) 10-12 April 2018 di Washington DC bulan depan yang harus mempersiapkan Review XV dalam agenda Sidang Tahunan (Annual Meeting) Bank Dunia/IMF di Bali, Oktober 2018.
Indonesia Inc harus bersatu padu memanfaatkan peluang tuan rumah sidang ini secara signifikan dan berbobot, bukan secara cengeng mempolemikkan tetek-bengek posisi EO sidang Bank Dunia di Bali. Dengan demikian, Bali akan dikenang sebagai lahirnya arsitektur finansial global 2020-2045 yang mencerminkan kekuatan riil ekonomi global dewasa ini dan bukan warisan masa lampau 1945 yang ketinggalan zaman.
Sidang Bank Dunia /IMF di Bali terlalu penting untuk di-bully lewat sosial media oleh lawan politik partisan, tetapi memerlukan kearifan dan kebijaksanaan diplomasi dan lobi yang proaktif, kreatif bagi posisi geopolitik RI dan otomatis kinerja ekonomi politik kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar