Pada satu kesempatan, Kiai Said Aqil Siroj menyampaikan bahwa tidak ada gunanya orang beragama jika tidak melakukan tiga hal berikut ini.
Pertama, terus-menerus menyerukan sedekah. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga, mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan.
Apa yang dikatakan Kiai Said merupakan tafsirannya atas surat An-Nisa Ayat 114. Sebuah tafsir yang bukan saja sangat kontekstual, lebih dari itu semakin menemukan titik relevansinya jika kita kelindankan dengan pola keberagamaan kita hari ini.
Tiga dimensi
Tiga dimensi "kebaikan dalam beragama" yang diungkapkan di atas jika kita cermati sesunguhnya lebih kental nuansa ibadah sosialnya. Ritus yang memiliki dampak kepada apa-apa yang berada di luar diri manusia, yakni lingkungan sosialnya. Itu berarti, kesalehan sosial juga memiliki derajat yang tidak kalah penting daripada kesalehan yang sifatnya ritus dan ubudiah semata.
Pada poin pertama, agama berguna jika pribadi yang beragama terus-menerus menyerukan sedekah. Derma, itulah sejatinya inti ajaran Islam. Semangat untuk selalu memberi dan berbagi adalah salah satu pilar ajaran agama. Dalam kegiatan berbagi, berderma, atau bersedekah, ada kasih sayang dan juga perhatian terhadap sesama.
Bahkan, di banyak kesempatan telah diungkapkan cerita kedahsyatan berderma ini. Salah satunya, misalnya yang paling fenomenal dan menyentuh hati, adalah kisah tentang derma seorang pelacur yang memberi minum kepada seekor anjing yang sedang mengalami kehausan. Dikisahkan, atas sebab amalnya itulah Tuhan memasukkan pelacur tersebut ke dalam surga-Nya.
Poin kedua, terus-menerus mengupayakan berbuat baik. Poin ini sangat menarik jika dicermati. Artinya, dimensi perintah yang disampaikan Tuhan kepada hamba-Nya adalah agar mereka selalu berusaha dan berupaya untuk berbuat baik secara kontinu. Yang dicatat Tuhan bukanlah hasil perbuatan baik tersebut, melainkan justru upaya dan usaha berbuat baik itu sendiri. Hal ini sangat penting dicatat sebab orientasi rata-rata kita, yang selama ini kerap salah dalam memahami, adalah pada hasil. Padahal jelas, agama menghendaki orientasi proses, di mana proseslah yang diutamakan, bukan hasil atau dampak dan juga akibat dari perjuangan dan berbuat baik tersebut.
Paradigma bersetia kepada proses ini, meskipun mudah diucapkan dan dibayangkan, tetapi sangat sulit diimplementasikan. Banyak dari kita, umat beragama, yang diam-diam mengkhianati proses dengan dalih bahwa dalam beragama yang paling penting adalah tujuan akhirnya. Tujuan yang baik tentu saja akan sempurna jika dilakukan dengan cara yang baik pula. Amar makruf misalnya, atau perintah untuk berbuat baik, ia akan jadi baik jika dilakukan dengan cara yang baik pula. Amar makruf harus dilakukan dengan cara yang makruf, bukan cara yang mungkar. Dalam konteks ini, pola dakwah atau dalam bahasa pesantren disebut dengan fiqhu dakwahsangat penting dipahami.
Fiqhu dakwah adalah serangkaian ilmu yang dijadikan peranti untuk mengambil keputusan dan langkah dalam melakukan dakwah. Jika dipraktikkan dengan baik, buah dari penguasaan fiqhu dakwah adalah produk dakwah yang menampakkan wajah Islam rahmatan lil alamin. Islam yang menebarkan kasih sayang terhadap seru sekalian alam, bukan hanya sesama manusia saja. Sayangnya tidak semua pendakwah hari ini memahami fiqhu dakwah dengan baik.
Poin ketiga, terus-menerus mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan. Agama sangat menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Islah atau perdamaian adalah cita-cita yang mendasari setiap gerak agama. Agama tak menghendaki situasi kehidupan yang koyak moyak. Agama adalah serangkaian nilai yang mendorong hamba-Nya untuk jadi agen-agen perdamaian.
Patologi agama
Yang menarik terutama kaitannya langsung dengan poin ketiga, ada sebuah wabah beragama yang belakangan gejalanya sangat mengkhawatirkan. Wabah tersebut jika dibiarkan akan menjadi patologi. Apa wabah yang dimaksudkan? Meminjam istilah Jean Couteau (2017), patologi tersebut diistilahkan dengandelirium religiosum yang memiliki ciri antara lain yang paling menonjol: umat beragama sudah dihinggapi delusi obsesif-kompulsif karena merasa dirinya jadi religius, terus ingin semakin religius, sekaligus di saat bersamaan menegasikan apa dan siapa saja yang berada di luar diri, pemahaman, cara pandang, dan keyakinan mereka.
Kasus pembakaran pencuri amplifier di Bekasi beberapa bulan lalu merupakan bukti nyata dari mengkristalnya patologi sosial ini. Agama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan persekusi: membakar hidup-hidup seorang anak manusia. Agama yang pada dasarnya memiliki watak melindungi, akibat serangan penyakit sosial delirium religiosum ini menjadi institusi yang mengerikan. Agama bukan dimaknai sebagai medium untuk menebarkan perdamaian, justru sebaliknya digunakan sebagai alat menaburkan kebencian. Pada konteks ini—yakni dari mana muasal kebencian, saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh Emmanuel Levinas (1986). Ia mengatakan bahwa benih kebencian muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain juga ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanyakan oleh orang lain.
Sepenarikan napas dengan hal itu, patologi sosial dalam beragama juga bisa kita baca dari kasus Intan Olivia, kanak yang menjadi korban bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, setahun yang lalu. Memandang orang lain yang di luar keyakinannya sebagai liyan adalah pangkal patologi sosial jenis ini. Padahal, dalam pelbagai literatur disebutkan, sebut saja misalnya yang dikatakan oleh Al-Masudi (1997) dalam Murujud Dzahab, bangsa Nusantara adalah bangsa yang sangat kosmopolit yang memiliki kerangka pemahaman bahwa yang asing adalah merupakan bagian yang bisa menyempurnakan diri. Tidak ada istilah liyan. Unsur-unsur yang datang dari asing dijadikan sebagai penyempurna diri, bukan malah dianggap musuh yang halal diperangi. Oleh karena itu, bangsa Nusantara sangat menghargai perbedaan.
Dalam pada itu, kerukunan antar-keyakinan termaktub jelas dalam khazanah Nusantara. Misalnya dalamNegarakertagama gubahan Mpu Prapanca atau dalam Kakawin Sutasoma anggitan Mpu Tantular, yang salah satu baitnya sangat terkenal bhinneka tunggal ika, tan hana dharma manruwa (berbeda tetapi tetap tunggal, sebab kebenaran tidak akan pernah mendua).
Alakullihal, dalam konteks menghadapi tantangan beragama kita, utamanya kaitannya dengan beragama di negara yang bineka seperti Indonesia ini, ke depan yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa janganlah semangat beragama kita jauh melebihi semangat untuk mempelajari, merenungi, dan menghayati agama itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar