Pekan lalu, saham-saham emiten pertambangan seperti mendapatkan pukulan ganda, dari luar negeri juga dari dalam negeri.
Dari luar negeri, kebijakan Amerika Serikat tentang bea impor aluminium dan baja cukup memukul emiten tambang di sejumlah negara. Di dalam negeri, Menteri Pertambangan menetapkan hargadomestic market obligation untuk batubara.
Presiden AS Donald Trump menetapkan kebijakan bea masuk untuk baja dan aluminium hampir ke semua negara produsen kecuali Kanada dan Meksiko. Trump akan menerapkan bea masuk baja sebesar 25 persen dari harga jual dan 10 persen untuk aluminium.
Menurut Trump, Amerika Serikat hanyalah menjadi tempat sampah bagi produsen-produsen baja dan aluminium. Pengimpor terbesar baja ke AS adalah Kanada disusul Uni Eropa, Korea Selatan, Meksiko, dan Brasil. China berada di urutan ke-8.
Langkah untuk menyelamatkan industri baja dalam negeri bukan hanya dilakukan kali ini. George W Bush pernah memberlakukan bea masuk 30 persen untuk produk baja tahun 2002. Uni Eropa membawa masalah ini ke WTO dan menang.
Meskipun emiten-emiten pertambangan di Bursa Efek Indonesia tidak mengekspor sebanyak emiten bursa negara lain, sentimen kebijakan ini terasa juga.
Rencana Trump tersebut akan membuat harga baja dan aluminium naik dan berpotensi menimbulkan perang dagang jika ada negara yang membalas dengan menaikkan bea masuk produk impor dari AS. Akibatnya, harga beragam barang konsumsi meningkat dan melemahkan ekonomi global.
Meski demikian, Indeks Wall Street menguat pada akhir perdagangan Kamis (8/2) malam waktu setempat setelah pengumuman tersebut. Kebijakan itu dianggap akan menyelamatkan industri baja yang sudah semakin meredup di AS. Indeks Dow Jones naik 0,38 persen. Indeks Nasdaq naik 0,42 persen dan indeks S&P naik 0,45 persen.
Sebaliknya, di bursa lain saham-saham pertambangan menurun. Perusahaan pertambangan cukup pusing dengan rencana Trump tersebut. Saham Rio Tinto, misalnya, turun 1,86 persen pada akhir pekan lalu di bursa Australia.
Awal pekan ini, Senin (12/3), saham Bluescope naik 3,52 persen setelah ada optimisme bahwa Trump akan mengecualikan Australia juga dari rencana tersebut. Saham Pesco, produsen baja Korea, langsung turun 2 persen pada pekan lalu.
Meskipun emiten-emiten pertambangan di Bursa Efek Indonesia tidak mengekspor sebanyak emiten bursa negara lain, sentimen kebijakan ini terasa juga.
Indeks Harga Saham Gabungan pun tertekan pekan lalu. Pada Kamis (8/3), indeks turun 2,03 persen. Dana asing yang keluar pada hari itu mencapai Rp 1,17 triliun.
Jika ditotal, dana asing yang keluar dari bursa sejak awal tahun mencapai Rp 13,33 triliun.
Sektor pertambangan turun 3,48 persen. Penyebabnya tidak hanya kebijakan Trump, tetapi juga kebijakan di dalam negeri.
Pengaturan harga
Faktor penekan harga saham-saham pertambangan pada pekan lalu, khususnya bagi emiten batubara, adalah keputusan tentang harga domestic market obligationatau penjualan batubara untuk kepentingan di dalam negeri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan harga penjualan batubara di dalam negeri sebesar 70 dollar AS per metrik ton untuk dipasok ke PLN. Aturan ini berlaku hingga 2019.
Aturan tentang domestic market obligation (DMO) ini tidak akan berpotensi merugikan emiten, tetapi membuat margin keuntungan mengecil. Pasokan batubara yang diperlukan oleh PLN untuk digunakan di pembangkitnya lebih banyak batubara dengan kalori rendah.
Akibatnya, aturan ini paling berdampak pada produsen batubara berkalori rendah. Pada tiga hari perdagangan, Selasa-Kamis (6-8/3), harga saham-saham emiten tambang, terutama batubara, anjlok dan menghilangkan kapitalisasi pasar hingga Rp 11,7 triliun.
Aturan tentang harga ini sebaiknya dibarengi dengan transparansi. Selain itu, diperlukan juga aturan yang lebih rinci lagi sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian di pasar, juga perlu sosialisasi kepada berbagai pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar