Dalam soal politik, sirkulasi elite nasional dan lokal yang amat stagnan pada masa Orde Baru mampu didobrak dengan pilpres dan pilkada yang makin baik, bahkan kini dilakukan secara langsung. Pertanda nilai demokrasi membaik.

Secara ekonomi, dinamika yang terjadi pun tidak kalah tinggi. Kini bahkan ditekan dengan pembangunan infrastruktur yang amat kuat dengan harapan mampu mendongkrak percepatan dan pemerataan pembangunan ekonomi. Dimotori Presiden Jokowi, pembenahan perizinan yang berdampak langsung pada kegiatan ekonomi terus diperbarui.

Namun, perjalanan reformasi yang makin baik seakan dihadang oleh momen sirkulasi elite politik lokal dan nasional dengan Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Gejalanya adalah merapatnya ke individu Jokowi dan intrik pilkada langsung yang berbau oligarki politik dibumbui politik uang. Tentu harus kita waspadai.

Simpul reformasi

Reformasi di Indonesia ditandai oleh tekanan lingkungan yang tinggi untuk perubahan. Perpindahan dari kolonialisme ke kemerdekaan, pergeseran rezim Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke era Reformasi semua ditandai tekanan lingkungan reformasi yang tinggi. Farazmand (2011) menyebutkan adanya lingkungan sosial, ekonomi-politik, dan hukum dalam reformasi di sebuah negara bangsa. Secara sosial terjadi pergeseran struktur sosial, baik domestik maupun internasional, yang berdampak pada tuntutan perubahan tata kelola sebuah negara bangsa.

Dilanjutkan ekonomi dan politik yang biasanya dimulai dengan adanya ketimpangan atau ketidakadilan, dan lingkungan hukum yang menjadi ujung tombak muncul ketidakadilan pula, sebagai pemicu reformasi tata kelola negara bangsa. Bahkan, akhirnya jadi sinyal awal adanya reformasi kelak di kemudian hari.

Pergeseran lingkungan reformasi di Indonesia selalu bercorak bing-bang, perubahan yang diinginkan selalu dalam skala besar. Terjadi pola overhaul reform. Jenis reformasi seperti ini ditandai miskin strategi, muncul tanpa arah, bergerak berdasarkan aksi-reaksi.

Di tataran politik, skala nasional dan lokal, dalam 20 tahun terakhir di Indonesia dibenahi dengan amendemen UUD, mirip pada saat pergeseran dari kolonialisme ke kemerdekaan. Tetapi, sedikit berbeda tekanan dari perubahan rezim Orde Lama ke Orde Baru yang memanfaatkan perbaikan politik nasional dan lokal bersifat instrumental tanpa membenahi UUD. Jargonnya bahkan memurnikan kembali UUD 1945.

Pergeseran Orde Lama ke Orde Baru terasa memiliki desain strategi yang dikembangkan Soeharto meski juga sedikitbing-bang.Tetapi, instrumental sifatnya sehingga lebih mudah untuk mengontrolnya. Dilakukan saat itu, antara lain, fusi partai, pembenahan kabinet, perbaikan hubungan antar-lembaga negara, tata ulang manajemen lembaga negara, dan yang paling penting pembenahan hubungan pusat-daerah. Lingkungan sosial-politik dan ekonomi pun kala itu terasa mendukung Soeharto.

Pergantian rezim Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai perubahan UUD. Perubahan jenis ini jelas berskala besar, bukan instrumental saja. Kini sudah memasuki dekade kedua, tentu kita bisa saksikan aksi-reaksi yang terjadi dalam berbagai simpul di atas. Sebagai contoh, tekanan terhadap tata kelola DPR muncul revisi UU MD3, publik merespons. Tekanan terhadap sistem pilkada langsung diusulkan kembali ditarik ke pilkada tidak langsung, isu revisi UU KPK, UU Penanganan Terorisme, UU Pemerintahan Daerah, dan seterusnya.

Perubahan skala besar tersebut berdampak pada selalu terjadinya hukum aksi-reaksi dan munculnya perbaikan tambal sulam dalam bingkai tata kelola Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini jika tidak dibaca dengan baik gambar besar (big-picture) apa yang sedang terjadi dapat membahayakan eksistensi negara-bangsa ini. Penentu corak gambar besar dalam permainan aksi-reaksi akan dikembalikan pada kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan.

Menjaga momen

Sebaiknya kepala negara tak abai terhadap geliat dan gejolak lingkungan reformasi. Amati betul gambar besar yang terjadi sehingga mampu membaca warna-warni yang mengisi gambar besar tersebut. Jika tidak hati-hati, kepala negara akan terjebak membuat kabur gambar besar tata kelola NKRI yang berkembang.

Momen pilpres tidak boleh menjebak kepala negara jauh dalam permainan politik praktis yang memunculkan aksi-reaksi yang meruntuhkan koridor gambar besar tata kelola NKRI tersebut. Jabatan adalah amanah yang ditujukan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Kepala negara berdirilah di semua pihak. Jangan sampai melupakan berbagai elemen yang seolah berada di seberang secara politik di mata kepala negara sebagai individu. Isu satu calon presiden dalam Pilpres 2019 dan semua tampak merapat kepada Jokowi harus disikapi dengan wajar, tidak mengeliminasi pihak-pihak yang dianggap "musuh" sekalipun.

Momen tahun kelima masa pemerintahan Jokowi seharusnya digunakan untuk melakukan berbagai hal terkait spirit reformasiyang diinginkan bangsa ini. Kerjakan secara senyap, tetapi terbukti. Hindari terjebak dalam politik praktis yang berada dalam hukum aksi-reaksi yang berkembang.

Bicaralah lantang dalam berbagai persoalan kelembagaan besar tata kelola NKRI, tidak dalam soal yang melulu teknis, terlebih infrastruktur transportasi, perhubungan, dan pelayanan publik semata. Dan, reformasi bukan sekadar penataan aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi semata. Itu semua otomatis tanggung jawab kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, bicaralah juga tentang tata kelola besar NKRI agar kembali kokoh spirit reformasi. Tegakkan keadilan politik dan ekonomi. Gemuruhkanlah spirit negara bangsa RI. Tegakkan NKRI di mata dunia.

Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Administrasi dan Ketua DeLoGo FIA UI

Kompas, 14 Maret 2018