Pada kenyataannya bencana seperti itu tak kunjung mendapatkan solusi tepat pada level nasional sebagai tindakan preventif. Penyebabnya tidak lain adalah kebijakan negara terlalu sibuk mengeksploitasi sumber daya alam. Melalui julukan Indonesia sebagai negara maritim dan negara agrarismenunjukkan betapa kuatnya semangat untuk memproduksi hasil bumi. Padahal, pada saat bersamaan kita mengabaikan bagaimana produksi hasil bumi bisa ada dan kemudian dinikmati secara berkelanjutan, yang dalam hal ini sungai sebagai ekologi yang selama ini dipandang sempit sebagai sarana transportasi belaka.

Peradaban sungai

Sejak masa lalu, sungai punya posisi vital dalam membentuk peradaban dunia. Sungai Nil, Sungai Indus, Sungai Gangga, hingga peradaban Sungai Eufrat dan Tigris adalah bukti nyata lahirnya peradaban besar dunia itu. Di sekitar aliran sungai tersebut muncullah negara-negara besar yang berpengaruh secara global.

Di Nusantara pun tak kurang melahirkan negara-negara besar sejak ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Seperti kerajaan Hindu tertua, yakni Kerajaan Kutai di tepi Sungai Mahakam, Sriwijaya di Sungai Musi, Kerajaan  Banjar di tepi Sungai Martapura, bahkan terdapat belasan kesultanan di tepi Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di tanah Jawa, sungai juga terkenal sebagai pembentuk peradaban besar, yakni Bengawan Solo di Jawa Tengah, Kali Code atau Selokan Mataram di Yogyakarta, hingga Ciliwung di Jakarta.

Fakta historis peradaban sungai di berbagai belahan dunia, dan era kejayaan sungai di Indonesia sebelum kemerdekaan, sungguh tak terbantahkan. Tetapi, kebijakan negara hingga saat ini agaknya masih memarjinalkan peran sungai dan keberadaan masyarakat sekitarnya.  Saat ini, kita telah kehilangan sungai dalam pengalaman hidup karena berbagai aspek kehidupan cenderung berorientasi ke daratan. Dengan mudah kita menemui kota-kota Indonesia yang dibelah oleh sungai, tetapi ternyata kota tersebut justru jadi kuburan bagi sungai dan menggantikannya dengan jalan raya.

Anekdot di daerah tentang ibu kota Jakarta misalnya "Jakarta tidak memiliki banyak sungai, tetapi memiliki banyak jembatan".Tentu anekdot tersebut sangat satiris bahwa kebijakan pemerintah pusat lebih bertumpu pada jalan raya. Padahal, ketika musim hujan tiba yang mengakibatkan banjir di beberapa kota besar di Indonesia selalu dikaitkan dengan meluapnya air sungai. Oleh karena itu, negara perlu memperhatikan sungai pada tiga aspek, yakni keseimbangan ekologi, estetis, dan kultural.

Keseimbangan ekologis

Sungai merupakan bagian dari ekologi daratan yang jadi media mengalirkan air. Melalui sungailah segala aktivitas daratan seperti pertanian, perkebunan, dan hutan dapat hidup dan berkembang. Namun, dalam kenyataannya, kehadiran sungai dipandang sebelah mata seolah sektor pertanian, misalnya, dapat berlangsung tanpa sungai. Sebutan negara agraris pun hanya melihat aspek produk, yakni pada hasil alam, tetapi mengabaikan kondisi sungai yang mengairi pertanian.

Sungai-sungai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah memiliki berbagai istilah seperti saka, tatas, tabukan, anjir,antasan, batang danum, yang menunjukkan fungsi sungai tak hanya sarana transportasi, tetapi juga sebagai tata kelola air pada kawasan pertanian dan akses permukiman penduduk. Kesadaran ekologis seperti ini pula menempatkan sejumlah kawasan di Indonesia berorientasi pada sungai, terutama pada penamaan kawasan hulu dan hilir ataupun menamakan suatu daerah berdasarkan nama-nama sungai.

Di sisi lain, sungai hanya ada dalam ingatan pengalaman bersifat sementara ketika banjir datang melanda sejumlah kota besar di Indonesia. Permasalahan utama banjir adalah persoalan pada sungai di bagian hulu yang mengirim secara berlimpah. Kota Jakarta, misalnya, selalu melihat datangnya banjir dari daerah hulu sungai, terutama Bogor. Pun kota-kota di daerah lain yang terkoneksi oleh sungai selalu memiliki keterkaitan antara hulu dan hilir sungai. Oleh karena itu, kesadaran penting sebenarnya bahwa tidak ada satu kota yang benar-benar otonom menghindari bencana alam seperti banjir tanpa bantuan daerah lain.

Sayangnya kesadaran akan satu sungai sebagai tanggung jawab bersama tidak jadi kebijakan atau prioritas pemerintah dalam skala provinsi maupun antar-provinsi hingga tingkat nasional. Akibatnya, penanganan sungai hanya secara sektoral, terutama kota yang berdampak akibat banjir itu saja.   Alhasil, banjir merupakan agenda tahunan dan sungai menjadi kambing hitam atas berlangsungnya bencana tersebut.

Estetis

Wacana tentang sungai, disadari atau tidak, telah membubuhkan stigma negatif oleh masyarakat terhadap sungai. Ketika terjadi banjir, misalnya, berita-berita di pelbagai media sering menampilkan kalimat: "banjir ini terjadi akibat air sungai meluap" atau "debit air di sungai mengalami kenaikan sehingga masyarakat harus bersiap menghadapi banjir". Bahkan, dalam peristiwa lain, dengan mudah kita menemukan kalimat, "seorang anak tenggelam di sungai" atau "arus sungai yang deras menelan korban". Dengan demikian, sungai bukan sebagai obyek material yang disenangi, tetapi seolah bersifat "antagonis" karena menimbulkan korban manusia. Pola pikir seperti ini hendaknya diubah karena alam cenderung memperlakukan manusia berbanding sejajar dengan perlakuan manusia kepada alam itu dan begitu pula terhadap sungai.

Perubahan pola pikir semestinya sungai dilihat sebagai obyek estetis untuk dinikmati dan dirasakan oleh masyarakat. Maka, keindahan kota-kota sungai di dunia seperti Venesia, Amsterdam, dan Bangkok semestinya tak terhitung jumlahnya di banyak kota Indonesia. Namun, hingga saat ini hal tersebut masih jauh panggang dari api. Sungai hanya berfungsi tong sampah raksasa untuk menampung benda apa pun yang dibuang oleh manusia. Maka, Bengawan Solo yang begitu indah dilantunkan dan dilukiskan sang maestro Gesang dalam lagunya sekadar lantunan lagu yang realitasnya bertolak belakang.

Salah satu kota yang berupaya memanfaatkan sungai secara estetis sedang dirintis oleh Pemerintah Kota Banjarmasin. Kultur masyarakat sungai yang terkenal dengan kegiatan perekonomian tradisional sejak ratusan tahun lalu, yakni Pasar Terapung, diperkuat dengan adanya kawasan siring Sungai Martapura di tengah kota Banjarmasin. Perlahan-lahan sungai jadi tujuan wisata domestik, tempat melepas lelah, serta wisata kota yang murah dan mudah bagi warga kota, dan menjadi kawasan selfie. Padahal, luas kawasan yang dimanfaatkan sebagai kawasan wisata sungai di tengah kota hanya "sejengkal" dari ratusan sungai yang membelah Kota Banjarmasin.

Kultural

Di sinilah perlunya kehadiran negara dalam mengelola sungai dengan memperhatikan dan melibatkan masyarakat yang ada di daerah aliran sungai. Aktivitas masyarakat acap kali dilihat pada aktivitas membuang sampai ke sungai belaka sehingga masyarakat dijauhkan dari lingkungan sungai. Padahal, masih banyak aktivitas seperti perdagangan sungai, transportasi, lahan untuk bekerja mencari dan memelihara ikan, hingga aktivitas mandi di tepi sungai merupakan aspek kultural yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia.

Pelibatan masyarakat mutlak diperlukan karena merekalah generasi pewaris peradaban dan kebudayaan sungai secara turun- temurun. Mendekatkan kembali masyarakat dengan sungai melalui partisipasi mereka, baik secara teknis hingga menghidupkan dan mengemas lagi mitologi sungai sebagai upaya merawat sungai secara berkelanjutan. Selain itu, stigma negatif selama ini yang menjauhkan ikatan emosional warga sepanjang sungai yang berasal dari anggapan "orang sungai", "orang hulu", yang identik ketertingalan dan keterbelakangan harus dihapuskan. Akhirnya, sudah saatnya negara memfokuskan pada pengelolaan dan perawatan sungai secara terpadu, baik antar-daerah maupun antar-kawasan.