Pemilihan kepala daerah selalu menyimpan cerita permainan uang yang mengiringinya. Mulai dari gejala beli perahu untuk pencalonan, menyawer uang untuk membeli dukungan, kampanye dengan menyebar uang, hingga serangan fajar di hari pemilihan maupun permainan di tingkat tabulasi hasil adalah riwayat yang senantiasa hadir di setiap pilkada.
Bahkan daftar itu belum cukup. Dapat diperpanjang hingga tahapan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi (MK), yang beberapa waktu lalu pernah memakan korban ketua MK kala itu. Hampir setiap tahapan membutuhkan konversi ke dalam bentuk uang. Pemilihan menjadi berbiaya mahal. Baik biaya untuk pengeluaran bagi kegiatan halal maupun biaya untuk kegiatan haram.
Bahwa pemilu berbiaya mahal, kita semua sudah mafhum hal itu, walau tidak berarti harus maklum. Pada titik itulah, tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyasar kandidat petarung di pilkada menjadi menarik. Jauh lebih menarik dibandingkan "kegenitan" KPK mengumumkan akan menersangkakan banyak kandidat. Bahwa KPK kurang pas dalam penyampaian adalah benar. Namun, tak kalah benarnya adalah esensi kewajiban KPK untuk melirik ke pilkada yang sudah menjadi pesta permainan uang dan korupsi.
Pola lama
Sebenarnya, tak ada yang benar-benar baru dalam kaitan pola permainan uang dalam pilkada ini. Modal besar untuk ikut pilkada ini membuat pihak tertentu mau untuk melakukan investasi koruptif yang terbangun dari kepentingan masing-masing pihak. Pemilik modal tinggal melihat siapa pemilik elektabilitas tertinggi. Taruh uang di situ dengan perjanjian akan mendapatkan sesuatu setelah keterpilihan.
Bahkan, sering kali, pemilik modal tidak menaruh dalam satu keranjang saja. Pemilik modal yang punya kapasitas keuangan lebih biasanya berani untuk menaruh dalam keranjang siapa saja yang bertarung. Dengan harapan, siapa pun pemenangnya, setelah dilantik dan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana tersebut akan cepat kembali.
Pola relasi itu bertemu dengan kewenangan kepala daerah dalam menentukan hal-hal administratif tertentu, khususnya pelaksanaan APBD dan sumber daya alam (SDA). Korupsi APBD dan SDA ini menjadi ajang simbiosis mutualisme bagi kepala daerah dan pemodal. Relasi supply and demand (penawaran dan permintaan) pemburu rente yang kemudian bertemu dalam pasar yang disebut dengan pilkada.
Bahkan, seiring dengan model pilkada serentak, terkadang membuat kandidat kepala daerah makin berani. Tatkala ada jeda waktu antara pemilihan, pengumuman pemenang, bahkan hingga pelantikan, kepala daerah yang sudah menang (menurut survei) ataupun menurut perhitungan komisi pemilihan di daerah sudah berani meminta dan menawarkan APBD dan hal tertentu.
Menang tapi belum dilantik ini membuat mereka berani menjarah uang oleh karena berpikir seakan-akan karena belum dilantik, mereka belum menjadi pejabat daerah dan masuk dalam rekam radar penegak hukum antikorupsi.
Padahal, meskipun belum dilantik sebagai kepala daerah, pada hakikatnya pemenang pilkada sudah dapat dianggap harus mempertanggungjawabkan jika melakukan pelanggaran koruptif. Mengutip Eddy OS Hiariej (2018) yang menyitir pendapat Hazewinkel Suringa dan Jan Rammelink, pada dasarnya dalam hukum pidana berlaku prinsip dolus anteceden yang berarti kesengajaan yang ditempatkan sebelum salah satu unsur delik terpenuhi tetapi pasti akan terpenuhi.
Unsur delik yang belum terpenuhi tetapi pasti terpenuhi ini menggariskan bahwa seseorang tidak bisa dipidana jika unsur yang belum terpenuhi itu tidak pernah terjadi. Maka, seseorang biasa yang terpilih menjadi pejabat negara atau sudah ditunjuk tetapi belum dilantik, lalu ia menerima atau meminta sesuatu berupa suap, maka begitu ia dilantik, delik tersebut terpenuhi.
Impitan aturan pilkada
Balik ke calon kepala daerah, tindakan Menko Polhukam yang meminta agar KPK menunda penegakan hukum tidaklah sepenuhnya tanpa alasan. Dalam penalaran, yang ditakutkan Menko Polhukam adalah kemungkinan buntu akibat kandidat yang kemudian ditersangkakan dan ditahan KPK. Ini karena aturan UU Pilkada yang tidak membolehkan adanya pergantian kandidat oleh partai pengusung pada tahapan setelah ditetapkannya calon tetap. UU hanya mengatur kemungkinan proses pergantian tatkala kandidat meninggal dunia, yang kemudian pengusung dapat melakukan usulan penggantian dengan jangka waktu tertentu.
Begitu juga dengan Peraturan KPU No 3 Tahun 2017 tidak mengaturnya secara limitatif. Bayangkan, jika kemudian mereka ditahan lalu pendukungnya melakukan tindakan amuk. Belum lagi bagaimana pelaksanaan pilkada jika kandidatnya kemudian ditahan dan pilkada tidak dapat dilaksanakan.
Sayangnya, alasan tersebut tidak pas karena negara hukum memberikan titah yang tidak sederhana terhadap penegakan hukum. Fiat justicia ruat coelum, hukum harus tetap ditegakkan meski langit akan runtuh. Dalam konteks ini, seharusnya pemerintah berbicara dalam langgam yang sama, yakni penegakan hukum tetap harus dikedepankan. Bukan hanya demi penegakan hukum, melainkan juga demi masa depan demokrasi elektoral itu sendiri. Rasa aman dan damai pilkada tidak bisa didahulukan dibandingkan mendapatkan kepala daerah yang benar-benar bersih dan mumpuni.
Integritas dan kapabilitas kandidat adalah paduan yang tak kalah penting dibandingkan keamanan tatkala proses pilkada. Lagi pula jangan dilupakan, rasa aman dan damai pilkada adalah sebuah proses dan bukan sesuatu yang "jatuh dari langit". Harus diciptakan dan dijaga oleh aparat negara yang bekerja untuk itu.
Karena itu, dibandingkan dengan menunda proses penegakan hukum terhadap para kandidat yang berkelindan dengan masalah korupsi, jauh lebih tepat jika pemerintah mengupayakan sesuatu yang lebih bermartabat, yakni menyediakan jalan keluar dari impitan aturan pilkada tersebut. Tentu saja, salah satunya adalah menyediakan aturan, baik UU maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk menutup pintu ke jalan buntu akibat kandidat yang ditahan.
Ide perppu
Perppu adalah salah satu jawaban atas hal ihwal kegentingan memaksa yang mengimpit pelaksanaan pilkada yang dibayangi proses koruptif ini. Sayangnya, perppu juga bukan sesuatu barang murah yang dapat diobral, karena setidaknya ada dua hal yang harus dibicarakan tatkala rencana untuk mengeluarkan perppu.
Pertama, tentu saja persoalan teknis timing. Hingga saat ini, banyak berdasarkan Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan bahwa perppu dapat dikeluarkan kapan saja oleh presiden sepanjang ada hal ihwal kegentingan memaksa. "Hal ihwal kegentingan memaksa" adalah suatu kondisi subyektif presiden yang nantinya akan diobyektifikasi oleh proses penerimaan di DPR. Makanya, dalam Ayat 2 di pasal yang sama, dikatakan bahwa harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Akan tetapi, dalam penalaran hukum, sebenarnya ada sebab musabab mengapa Pasal 22 Ayat 2 ada anak kalimat "dalam persidangan yang berikut". Karena sesungguhnya, perppu tidak dapat dikeluarkan kapan saja. Perppu dikeluarkan tatkala DPR tengah tidak bersidang, sedang masa reses. Karena itulah makna mengapa disebut dengan disidangkan pada masa sidang berikutnya. Hal yang artinya, begitu masuk masa sidang DPR, maka perppu tersebut langsung disidangkan.
Bayangkan jika tengah masa sidang, maka menurut pasal tersebut, seharusnya perppu disidangkan pada masa sidang berikutnya, dan bukan pada masa sidang yang tengah berjalan. Dan jika itu terjadi, akan menghilangkan esensi perppu adalah suatu kondisi hal ihwal kegentingan yang memaksa, artinya memang sebuah produk yang membutuhkan penggunaan segera. Bahaya otoritarian akan membayangi jika presiden dibiarkan mengeluarkan suatu produk setara UU yang berlangsung segera dan menunggu waktu terlalu lama untuk mendapatkan persetujuan wakil rakyat.
Sederhananya, jika DPR masih bersidang, maka yang dibutuhkan tentu saja adalah pembentukan undang-undang secara cepat. Bisakah? Sangat mungkin sepanjang pembentuk UU, presiden dan DPR, sepakat untuk melakukannya. UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), misalnya, sudah beberapa kali mengalami perubahan cepat bahkan dengan hitungan hari.
Padahal, kepentingan yang ada hanyalah kepentingan politis semata tatkala itu, yakni soal penambahan kursi wakil partai-partai di alat kelengkapan. Jika memang pembentuk UU masih berpikir pada konteks kepentingan rakyat, seharusnya bisa membentuk UU cepat, yang didorong inisiasinya oleh pemrakarsa, lalu bersidang untuk memasukkan UU tersebut ke dalam pembahasan.
Inilah mengapa disebutkan di atas bahwa bukan cuma perppu, perubahan UU cepat pun masih sangat mungkin untuk menjadi alat untuk menyelamatkan pilkada. Jika DPR masih bersidang, pembentuk UU membuat UU cepat. Jika tidak tengah bersidang, Presiden mengeluarkan senjata perppu.
Kedua, tentu saja persoalan substansi. Jika memang disepakati bahwa perppu adalah jalan yang paling pas, maka substansi yang kemudian penting untuk dibicarakan. Sesungguhnya, meski UU Pilkada mengharamkan kemungkinan untuk melakukan penggantian kandidat tatkala sudah memasuki tahapan kampanye, tidak berarti pintu itu ditutup sepenuhnya. Oleh karena masih ada Pasal 54 yang memberikan kemungkinan untuk melakukan pergantian tatkala kandidat tersebut meninggal dunia.
Karena itu, sederhananya pasal bagi perppu penyelamatan pilkada dari perilaku koruptif ini adalah dimungkinkannya bagi pengusung kandidat untuk melakukan penggantian menggunakan mekanisme dan klausul ketika kandidat meninggal dunia. Dengan demikian, pasal yang dibutuhkan untuk dicantumkan di dalam perppu sebenarnya cukup sederhana, yakni cukup dengan menambah bahwa klausul Pasal 54 juga diberlakukan tatkala kandidat dikenai penegakan hukum atas pelanggaran pidana khusus, semisal korupsi, narkoba, dan terorisme. Dengan begitu, proses pergantiannya kemudian mengikuti mekanisme pergantian ketika kandidat meninggal dunia.
Walaupun ada ide menempatkan aturan ini tak perlu via perppu, tetapi merevisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017, tetapi sangat mungkin tidak menyelesaikan masalah jika tidak ditempatkan di dalam aturan setingkat UU. Sangat mungkin KPU yang dipersoalkan karena mengatur terlalu jauh sesuatu yang tidak diatur oleh UU.
Pada akhirnya, negeri inilah yang harus diselamatkan dari perilaku korupsi yang terus membayangi pilkada. Sekali lagi, dibandingkan melarang penegakan hukum ditegakkan secara cepat buat para bandit demokrasi ini, mending mencari cara aturan dikeluarkan untuk menyelamatkan pilkada dari kemungkinan gagal akibat praktik korupsi. Tentu menyelamatkan pilkada tidak cukup, mencari peta jalan keluar agar korupsi tak terus membayangi pilkada juga harus dilakukan.
Kita semua paham permainan korupsi yang membayangi proses pemilihan jabatan kepala daerah sudah sekian lama menghantui, dan tatkala masih diam dan terus membiarkan terjadi, kita hanya akan terus berjalan terseok bak keledai yang jatuh pada lubang yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar