Kita jamak membayangkan setiap persoalan pelik yang kita hadapi bak ular. Potong kepalanya dan seluruh tubuhnya seketika itu juga akan terkapar, tak berdaya. Akan tetapi, imajinasi ini sebenarnya tidak berlaku untuk banyak perkara yang kita hadapi di era keterhubungan konstan ini.

Cyber Army, ambil saja sebagai contoh. Dalam penjelasan aparat ataupun berbagai pengamat, ia digerakkan dengan demikian terkoordinasi. Surat kabar The Guardianpun percaya dengan narasi yang berkembang ini. Dalam investigasi yang dilakukannya baru-baru ini, koran ini menemukan bahwa ada akun-akun robot yang dimobilisasi serempak, terpaut dengan partai politik oposisi serta militer, dan secara sistematis merisak pihak-pihak tertentu.

Kendati demikian, cara berpikir semacam ini rentan terperosok dalam bias. Kita mempunyai kecenderungan yang dinamai oleh psikologi sebagai kepekaan hiperagensi. Guna mempersiapkan diri dari ancaman-ancaman predator, satu makhluk hidup akan kontan membayangkan adanya makhluk hidup lain yang hendak memangsanya ketika ia merasakan ketidakamanan. Kecenderungan ini mendorong kita untuk mencetuskan pikiran-pikiran konspiratif ketika kita mencecap adanya ancaman, apa pun bentuknya.

Apa yang terjadi dalam semaraknya ekspresi-ekspresi identitas antagonistis di media sosial, yang tak jarang melibatkan hoaks untuk memupuk sentimennya, sayangnya, tak pernah sesederhana itu. Apa yang kita hadapi adalah hydra, ular yang kepalanya justru berlipat ganda saat dipenggal, alih-alih sekadar ular.

Tanpa koordinasi

Pertama-tama, kalau kita ingat dengan saksama, pusparagam sentimen massal yang menyeruak di media sosial tidak pernah menuntut koordinasi yang berlebihan di antara para penggunanya. Sejak awal kemunculannya, media sosial dirancang untuk mempertautkan para pengguna, yang terpisah satu sama lain, dengan apa yang tengah semarak di lingkungan sosialnya dan berpartisipasi di dalamnya. Sebagaimana yang ditulis oleh Thomas Poell dan Jose van Dijck, media sosial menyetir para penggunanya untuk terlibat dalam hubungan-hubungan pribadi dan, di sisi lain, memfasilitasinya untuk menoreh momen bersama dengan khalayak penggunanya secara luas. 

Dengan strategi demikian, mereka dapat menyita perhatian para penggunanya secara lebih efektif. Toh, adalah hal yang seyogianya sudah kita sadari, kita merasa lebih hidup dengan adanya pengakuan, keberadaan, keterlibatan insan lain. Kita, mengutip Emile Durkheim, memperoleh sensasi hidup dari kebersamaan dengan yang lain.

Itulah mengapa di Twitter kita memperoleh trending topics dan ketersebaran pesan antarpengguna menjadi dinamika yang sangat diutamakan di platformnya. Sementara itu, Facebook, sebagai strategi khasnya, mengurasi agar muatan-muatan yang paling pertama kita peroleh di lamannya adalah yang menuai tanggapan dari kawan-kawan terdekat kita.

Namun, konsekuensinya, jika kita periksa setiap gerakan atau momen kolektif yang mencuat di media sosial, ia tidak mempunyai ujung ataupun pangkal yang jelas. Ia digerakkan oleh letupan-letupan viralitas belaka. Ketika ia meletup, para pengguna, yang dihubungkan teknologi media sosial dalam ceruk tersekatnya masing-masing, berbondong-bondong menyemutinya. Mereka yang menanggapi isu termutakhir yang merebak dengan cara-cara yang menarik akan memperoleh rekognisi dari jejaring perkawanannya di media sosial.

Individu-individu pengguna yang dibuat mencandu rekognisi dan kebersamaan sosial inilah yang lantas menjadi penyebar gagasan yang acap dianggap berbahaya. Apa yang dicarinya, dengan cara demikian, kerap bukan memuluskan pihak tertentu memperoleh jabatan, melainkan semata afirmasi dari kawan-kawan di media sosialnya.

Pusparagam motif

Hal ini dengan segera terbukti apabila kita periksa akun-akun yang mengangkat muatan-muatan yang dianggap berbahaya. Tak jarang, beberapa di antaranya kita jelas tahu yang bersangkutan tak terlibat dengan jaringan bawah tanah mana pun. Mereka adalah sahabat atau keluarga terdekat kita. Mereka terlibat memproduksi maupun mempromosikan gagasan-gagasan tertentu karena mereka merasa itulah hal bermakna yang sanggup mereka lakukan untuk membela kelompoknya.

Beberapa yang lainnya lantas adalah akun-akun yang memburu pengikut dan respons, dan mereka menumpangi isu-isu yang marak direspons publik. Isu-isu yang berkenaan dengan politik identitas, umumnya, menjadi bidikan mereka. Pada laman akun-akun seperti ini, akan tampak, misalkan, mereka mengelola akun lain seperti akun jual-beli barang, lelucon terkini, atau binatang menggemaskan, terlepas satu akun yang mereka kelola berusaha menyebarkan pesan religius.

Fragmentasi yang janggal ini terjadi karena, memang, demikianlah watak dari media sosial. Ia mempersatukan para penggunanya dalam sentimen sosial yang sewarna tanpa menuntut mereka tunduk dalam struktur tertentu.

Jangan lupa pula dengan satu potret yang terungkap selepas pemilu Amerika Serikat berikut ini. Banyak dari antara berita palsu yang punya andil memoles citra DonaldTrump dalam Pemilu AS 2016 datang dari Kota Veles di Macedonia. Kota yang dulunya merupakan penghasil porselen untuk Yugoslavia itu kini menjadi kota penghasil hoaks. Anak-anak mudanya menganggap profesi ini menjanjikan secara finansial. Beberapa bahkan memiliki usaha yang dapat mempekerjakan sampai dengan belasan orang. Satu anak muda, Mikhail namanya, sudah membidik akan membuat situs hoaks untuk Pemilu Amerika Serikat 2020.

Mengapa ini terjadi? Mata kita mungkin dengan segera akan tertuju pada pendapatan yang mereka peroleh. Di sebuah kota yang tak menjanjikan banyak mata pencaharian, pendapatan dari kerja anak-anak muda ini bisa mendatangkan sedikitnya 1.000 euro.

Namun, yang lebih penting, dari mana asal kesempatan mereka untuk meraup pendapatan semacam itu? Jawabnya: dari media sosial yang menyediakan mereka ruang untuk memikat perhatian dengan isu-isu yang menggugah, memprovokasi, dan bermakna. Dan, yang penting kita perhatikan, anak-anak muda ini jelas tak punya kepentingan politik apa pun terkait pemilu AS.

Tak bisa disederhanakan

Tentu saja kita tak bisa sepenuhnya menampik pengaruh dari jaringan-jaringan sistematis dalam hal ini. Hanya saja, mereka hanyalah satu kepingan yang menyusun fenomena yang terjadi di hadapan kita ini. Kita acap mengecilkan perkara yang terjadi dengan menganggap pelakunya tunggal.

Kini, ketika kita penggal kepala jaringan semacam ini, apa yang terjadi? Ia tidak mati begitu saja. Hoaks-hoaks yang memolarisasi dan membangkitkan sentimen kebencian tetap berseliweran. Bahkan, ketika penangkapan terhadap aktor-aktor jaringan ini berhasil dimaknai sebagai bentuk penindasan pemerintahan terhadap perjuangan umat, ia malah kian memantik ekspresi-ekspresi kebencian dan antagonistis di antara pengguna media sosial.

Situasi ini mungkin tecermin dengan kata-kata yang pernah disampaikan Guy Fawkes, tokoh dalam film V for Vendetta. "Apa yang ada di balik topeng ini bukan sekadar daging," ujar Fawkes kepada musuhnya yang menembakinya dan mendapatinya tak mati-mati. "Di balik topeng ini, ada gagasan."