Semula viral tidak lebih sekadar ekspresi warganet yang ingin mendapat perhatian luas  publik di media sosial. Namun, kini secara perlahan berkembang menjadi alat politik yang cukup efektif dalam mendesak penguasa maupun melemahkan rival politik lainnya.

Meramaikan lini masa

Istilah di-viral-kan menjadi kata populer yang digunakan individu atau kelompok tertentu yang bertujuan untuk membuat linimasa media sosial menjadi ramai dengan topik tertentu. Alih-alih viral tersebut ditujukan untuk hal positif, viral justru lebih dekat kepada ekspresi negatif.  Berkembangnya viral menunjukkan gelagat bahwa kelas menengah Indonesia lebih menyukai narasi politik yang sifatnya reaktif dan konotatif.

Viral sebagai hal reaktif bisa dilihat dari setiap postingan dari warganet di media sosial lebih menonjolkan sisi emosional dan berharap perasaan dan pemahamannya akan diikuti oleh para warganet yang melihatnya.

Hal tersebut tentu sangat riskan karena hal itu sama saja menyuburkan pola pikir sumbu pendek di kalangan kelas menengah Indonesia. Pola pikir sumbu pendek karena viral itulah yang menyebabkan sentimen SARA tumbuh subur.

Sedangkan viral sebagai hal konotatif bisa diartikan penyebaran video maupun informasi tersebut lebih bermuatan hal-hal yang sifatnya dusta.

Anehnya, warganet Indonesia justru menyukai kedua tipe tersebut ketika mengakses akun media sosial mereka masing-masing. Hal ini justru menegasikan makna kelas menengah Indonesia sebagai masyarakat rasional, yang justru bersikap delusional.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Relawan Masyarakat anti fitnah Indonesia melakukan kampanye Anti Hoax saat berlangsung Car Free Day di Jalan Darmo, Surabaya, Minggu (14/1). Kegiatan dilakukan untuk mengajak masyarakt agar cerdas menyingkapi banyak beredarnya berita di medsos.

Kalangan terdidik maupun kalangan mampu justru memiliki pola irasional dalam kehidupannya. Gejala ini menunjukkan bahwa viral membuat publik kian apatis dan intoleran.

Kita dihadapkan pada kelompok kelas menengah Indonesia yang belum dewasa secara politik maupun sosial.  Melalui viral di media sosial, kelas menengah Indonesia justru tidak berkembang menjadi inisiator perubahan namun lebih kepada kolaborator politik sesaat.

Menguatnya viral memang diikuti pula dengan fenomena kompetisi dalam mencari material dan kepentingan dalam era sekarang. Warganet berlomba untuk menjadikan viral sebagai alat intimidasi terhadap sesama demi kepentingan pribadinya.

Kondisi itulah yang menyebakan tindak kriminalitas acap kali terjadi melalui media sosial. Namun kita masih masih belum mengerti maksud dan tujuan viral tersebut diunggah di media sosial. Dikarenakan rata-rata para pelaku penyebaran viral sendiri hanya mencari sensasi dan kesenangan pribadi.

Hal ini yang menjadikan viral dalam media sosial sebenarnya memiliki dua sisi berbeda. Adanya keinginan sensasi tapi miskin narasi dan ada pula keinginan bernarasi namun miskin isu.

Publik bisa terhasut

Dengan viral, publik kemudian bisa terhasut dan terperdayakan dalam menanggapi isu tertentu. Hal itulah yang menyebabkan viral bisa menjadi pemicu konflik baik di ranah dunia maya maupun ranah dunia nyata.

Dibandingkan dengan konflik konvensional yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan mapun pidana, konflik karena hasil viral ini sulit dipadamkan.

Meskipun telah menemui kata resolusi secara lisan maupun tulisan, namun belum tentu secara digital. Viral justru memelihara konflik dari hasil pembelahan sikap masyarakat agar tetap terbuka dengan intensitas isu yang bisa disesuaikan. Oleh karena itulah, para pelaku viral ini sebenarnya sadar akan tindakan yang mereka kerjakan, namun mereka abai akan konsekuensinya.

Tindakan penyebaran viral ini bisa murni karena sentimen terhadap perbedaan gaya hidup seseorang maupun kolektif. Namun juga bisa murni karena semata demi mengambil materi atas viral tersebut.  Oleh karena itulah, viral kemudian alat sosialisasi cukup ampuh dalam mempengaruhi masyarakat.

Jumlah Daerah Berdasar Tingkat Kerawanan di Aspek Penggunaan Media Sosial

Viral sendiri bisa berdiri di ranah patisan maupun non partisan tergantung pada isu yang sedang menggejala di ruang publik. Isu non partisan lebih banyak berbicara mengenai isu publik yang biasanya berpangaruh pada legitimasi pemerintahan.

Sedangkan isu partisan biasanya langsung mengarah pada sosok figur elite yang menjadi sasaran utamanya. Keduanya bisa berkelindan satu sama lain, namun juga bisa saling terpisah.  Kondisi itulah yang acap kali membuat kita sulit membedakan viral ini bertujuan mengkritik atau menghasut.

Dikarenakan keduanya langsung menuai perhatian publik secara meluas antara yang setuju maupun tidak setuju. Adapun viral politis seperti komunisme, LGBT, maupun minoritas sudah menjadi hal baku yang selalu saja diulang-ulang demi memelihara sentimen publik.

Sedangkan viral non-politis sebenarnya adalah jenis viral yang tujuannya untuk menguatkan viral politis tersebut. Masih berkembangnya isu SARA menunjukkan bahwa viral kita masih bersifat tradisional sempit.

Keberadaan viral di media sosial memang menunjang berkembangnya hoak di kalangan warganet Indonesia. Hal tersebut perlu sepenuhnya diantisipasi agar nuansa kebhinekaan di Indonesia tetap terjaga.

Masyarakat perlu memilah secara cerdas mengenai viral yang menggejala di media sosial agar tidak bertambah lagi kalangan delusional dalam ruang publik.