Mengurus SKCK Itu Sulit
Saya tinggal di Bogor dengan kartu tanda penduduk Branggahan, Kediri. Karena ada urusan kerja yang mewajibkan lampiran surat keterangan catatan kepolisian, saya pun mencoba mengurusnya tanpa harus pulang kampung.
Di situs skck.polri.go.id syarat yang diminta tanpa pengantar pengurus RT maupun RW, tetapi harus melampirkan rumus sidik jari. Saya pun mengurus rumus sidik jari di Polres Bogor dan berhasil mendapatkannya.
Setelah itu, saya isi lengkap formulir skck.polri.go.id serta mengirim salinannya kepada saudara yang ada di kampung. Dari situs itu pula saya dapat informasi bahwa surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang dibuat tidak perlu dari polres, melainkan cukup dari polsek.
Awalnya saya optimistis pengurusan akan selesai dalam satu hari. Nyatanya tidak. Saat saudara saya berada di Polsek Ngadiluwih dengan semua berkas yang dibutuhkan berdasarkan situs, petugas menolak dengan alasan "tidak dilampiri surat pengantar dari ketua RT, ketua RW, desa, dan kecamatan". Nanti setelah selesai, katanya, masih harus ke Polres Kabupaten Kediri di Pare, yang jaraknya 25 kilometer dari Polsek Ngadiluwih.
Saudara saya yang tinggal di Kota Kediri tentu sangat repot jika harus mengurus dari awal, mulai dari RT hingga Kecamatan Ngadiluwih yang berada di kabupaten. Berdasarkan pengalamannya, sangat jarang urusan di Kecamatan Ngadiluwih bisa selesai dalam satu hari.
Saya kecewa sekaligus heran. Mengapa prosedur standar pembuatan SKCK berbeda antara daerah satu dan daerah lain, antara situs resmi dan kondisi lapangan?
Sundari
Perumahan Casa Gardenia, Jalan Raya Batu Gede,
Sukaraja. Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Tunjangan Guru di Kudus Hangus
Saya guru, pegawai negeri sipil, mengajar bahasa Inggris di Madrasah Aliyah Negeri Kudus. NIP saya 19710620 1997031001 dan NUPTK saya 8952-7496 -5120-0032.
Saya menerima tunjangan profesi guru sejak awal 2010 sampai dengan Juni 2017. Mulai Juli 2017 sampai saat ini (Maret 2018), saya tidak menerima tunjangan profesi guru karena jam mengajar saya dirampas pihak tertentu.
Jam mengajar saya dibagi- bagikan kepada guru-guru honorer hingga tinggal 17 jam per minggu. Akibatnya tunjangan profesi guru saya sekitar Rp 18 juta di semester ganjil (Juli 2017-Desember 2017) hangus dan akan menyusul di semester genap (Januari-Juni 2018).
Itulah yang saya alami. Padahal, saya bukan maling, bukan koruptor, bukan terpidana. Mengapa hak-hak saya sebagai guru yang pegawai negeri sipil dirampas?
Saya memohon kepada pemerintah melalui Kementerian Agama memperhatikan hal ini.
Zahruddin
Dukuh Krandon,
Kudus, Jawa Tengah
Yang Mulia dan Yang Terhormat
Menarik usul Rauyan bagi gelar "Yang Terhormat" kepada guru dan "Yang Mulia" kepada dokter yang dinilai sudah berprestasi dalam rubrik ini (Kompas, 23/2/2018).
Usul itu atas dasar bahwa setiap anggota DPR mendapat sebutan "Yang Terhormat" dan hakim di pengadilan dengan "Yang Mulia", sedangkan guru dan dokter tidak bisa mendapat sebutan yang sama.
Usul simpatik Rauyan tidak begitu relevan sebab dalam hati masing-masing kita sudah mengakui, menghargai, dan menundukkan kepala terhadap guru dan dokter atas jasa mereka menangani anak bangsa.
Khusus bagi guru, pemerintah sudah memberikan tanda kehormatan yang luar biasa berupa gelar "pahlawan" meskipun tanpa tanda jasa.
Sekarang ini yang harus kita perjuangkan adalah nasib guru, terutama yang masih "honorer". Mereka hanya menerima "upah" Rp 400.000 sebulan. Padahal, jasa mereka juga setingkat dengan guru biasa.
P Hendranto
Kampung Baru, Pesanggrahan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar