KOMPAS/ALIF ICHWAN

Hakim Konstitusi Suhartoyo (dua dari kiri) di dampingi I Gede Palguna (kiri) dan Saldi Isra (dua dari kanan) memimpin sidang perdana uji materi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD 3 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (8/3). Permohonan perkara diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Presiden Joko Widodo menginginkan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dipercepat oleh DPR.

Keinginan Presiden mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Rabu (7/3). RUU HP memang menjadi keinginan setiap Presiden Indonesia. RUU HP diharapkan bisa menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU produk kolonial.

Keinginan Presiden Jokowi wajar saja. Namun, kita mau mengingatkan, RUU HP adalah undang-undang yang penting karena menyangkut nasib semua warga negara. Publik tidak ingin UU HP bakal menjadi undang-undang Draconian yang menjerat warga negaranya sendiri. Sejauh terpantau dalam pemberitaan media, RUU HP masih memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan pers, overkriminalisasi terhadap perempuan, termasuk korban kekerasan seksual.

Draco (650-600 SM), legislator pertama dari Athena, berjasa mengganti hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis. Ahsin Thohari dalam artikelnya diKompas, Jumat (23/2), menyebutkan, RUU HP memang bukan undang-undang yang kejam yang dibuat Draco. Namun, RUU HP mengandung pasal multitafsir, mengabaikan hak asasi manusia. Norma di RUU HP cenderung memproteksi kepentingan negara dan pada saat yang sama cenderung merampas hak warga negara.

Apakah substansi RUU HP seperti di atas yang menjadi politik hukum pemerintahan Presiden Jokowi? Belajar dari pembahasan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD—di mana Presiden Jokowi belum mengambil sikap, akan menandatangani atau tidak menandatangani UU MD3—kita meminta Presiden Jokowi berhati- hati dalam membahas RUU HP.

Kita mendorong Presiden Jokowi melihat lagi substansi dari RUU HP sehingga tidak perlu terjadi seperti pembahasan UU MD3. Setelah disahkan DPR, Presiden Jokowi mengaku terkejut dengan sejumlah pasal kontroversial UU MD3. Presiden Jokowi pun gamang untuk bersikap akan menandatangani atau tidak menandatangani UU MD3.

Pada tahun 2018 dan 2019, sejumlah pasal dalam RUU HP terbuka dimanfaatkan sejumlah politisi DPR untuk menarik dukungan dari pemilih. Di situlah kita mempertanyakan di mana posisi politik pemerintah, khususnya politik hukum Presiden Jokowi selaku kepala pemerintahan. Membuat undang-undang sama dengan melakukan pembangunan perangkat hukum.

Presiden memegang kendali atas pembangunan hukum, termasuk membuat UU. Meski dalam kenyataannya, pembahasan RUU dilakukan oleh menteri, politik hukum Presiden sangat penting. Seperti dalam pembahasan UU Terorisme, fraksi bukan hanya di dalam DPR, melainkan di dalam tubuh pemerintah pun ada fraksi-fraksi. Inilah yang harus diselesaikan Presiden.