KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Lutfi Fitriano menunjukkan kondisi cuaca di wilayah Indonesia di ruang operasional BMKG Pusat, Jakarta, Senin (26/6/2017).

Terasa menjadi hal yang kontras jika saat ini kita membandingkan iklan tawaran liburan dan kondisi nyata yang kini terjadi di banyak negara dengan empat musim.

Tawaran liburan dengan janji musim semi yang indah, tetapi saat ini banyak negara, terutama di Eropa, masih berjuang keras mengatasi salju yang turun dengan deras. Seperti kita baca di harian ini, Jumat (2/3), salju tebal menyelimuti Eropa. Benua ini seperti membeku. Di Swiss, suhu dilaporkan mencapai minus 40 derajat celsius. Cuaca dingin ekstrem ini juga menyebabkan 48 orang meninggal akibat kedinginan dan kecelakaan. Lalu lintas dan transportasi terganggu. Banyak bandara yang ditutup.

Januari hingga Februari disebut sebagai jantung musim dingin di Eropa. Namun, alih-alih menghangat seiring berlalunya kedua bulan itu, suhu di Eropa justru anjlok. Menghadapi cuaca ekstrem ini kita berharap otoritas pemerintah di negara-negara Eropa bisa meresponsnya dengan cepat, mengingat ada anggota masyarakat yang rentan menjadi korban, seperti orang tua dan tunawisma.

Tentang penyebab cuaca dingin ekstrem, oleh sementara pihak di Eropa disebut diakibatkan oleh "binatang buas dari timur". Ya, badai salju bisa saja datang dari Siberia, tetapi kita juga tertarik pada kedahsyatan dampak yang ditimbulkannya.

Februari itu bulan pendek. Namun, dalam soal cuaca, bulan ini penuh dengan kejutan. Selain salju yang membuat suhu anjlok, di bagian serta wilayah lain dunia, seperti di Amerika Serikat (AS) dan Australia, juga Indonesia, ada banyak topan yang menyebabkan banjir dan tanah longsor.

Satu catatan yang menjadi perhatian kita adalah setiap kali muncul fenomena cuaca ekstrem, dari waktu ke waktu selalu ada penyebutan "ini terdingin selama sekian waktu terakhir". Sebaliknya juga disebut, tahun 2017 lebih panas daripada 2016. Tahun 2016 disebut lebih panas dibandingkan dengan 2015. Kita menengarai, mengikuti pola pemanasan global, tren itu akan terus berlangsung. Dari literatur, pemanasan global yang akan melelehkan salju di Greenland, berikutnya lelehan akan membanjiri kota-kota di dunia, juga akan disertai cuaca ekstrem. Panas kelewat panas dan dingin menjadi kelewat dingin.

Sejauh ini, meski fenomena global ini tidak lagi merupakan kajian ilmiah, menjadi fakta riil, tidak semua negara mau mengubah kebijakannya yang terkait dengan pengurangan emisi karbon yang disemburkan oleh cerobong aktivitas industrinya.

Selain oleh pemanasan global, manakala ada cuaca ekstrem yang melanda Eropa, kita di Indonesia perlu introspeksi terhadap sikap dan aktivitas terhadap lingkungan. Ini karena sudah banyak bukti bahwa terjadinya banjir dan longsor di berbagai tempat di Tanah Air disebabkan oleh aktivitas yang merusak lingkungan, khususnya di kawasan hulu sungai di dataran tinggi.