Kesepakatan menghidupkan kembali TPP—kini berubah nama menjadi Kemitraan Komprehensif dan Progresif Trans-Pasifik (CPTPP)—ini ditandatangani pekan ini di Chile. CPTPP ditargetkan sudah diratifikasi pada 2019.
Dihidupkannya kembali kemitraan komprehensif ini menandai babak baru perdagangan global dan membuktikan, kendati tanpa AS, era perdagangan bebas atau pakta perdagangan yang sifatnya multilateral belum berakhir. Intinya, dunia tidak harus menunggu AS untuk bergerak. Kepemimpinan Jepang memainkan peran kunci dalam usaha menghidupkan kembali blok perdagangan yang awalnya diharapkan bisa mengimbangi kekuatan pengaruh regional China ini.
Selain menghidupkan kembali pakta perdagangan ini, keberhasilan negara-negara anggota CPTPP adalah merevisi beberapa ketentuan kontroversial yang diusulkan AS, yang selama ini dianggap bisa mengancam bukan saja keberlanjutan TPP, melainkan juga perekonomian anggota. Ketentuan tersebut adalah terkait dengan penyelesaian sengketa antara investor dan pemerintah (ISDS) dan ketentuan tentang hak cipta.
AS, sebagai pemrakarsa TPP pada masa pemerintahan Barack Obama, menarik diri dari keanggotaan TPP saat Donald Trump berkuasa. Trump dalam upaya memenuhi janji kampanye menggerakkan kembali ekonomi AS, menerapkan kebijakan America First yang restriktif dan proteksionis.
Kebijakan AS ini mengancam rezim perdagangan bebas dunia dan juga pertumbuhan perdagangan global yang sempat stagnan beberapa tahun terakhir pascakrisis keuangan global 2008. Pada gilirannya, mandeknya perdagangan global juga mengancam pertumbuhan ekonomi dunia.
Sementara pada saat yang sama, negara-negara lain agresif melanjutkan membuat kesepakatan-kesepakatan dagang multilateral, seperti Jepang-Uni Eropa (UE) dan UE-Mercosur. Terbentuknya CPTPP ini kian menuntun pada isolasi AS yang di bawah Trump mengobarkan potensi perang dagang lewat rencana penerapan tarif impor baja dan aluminium baru-baru ini.
Kendati tanpa AS, CPTPP mewakili kekuatan ekonomi dan dagang yang signifikan, salah satu blok dagang terbesar dunia, merangkul pasar yang sangat besar, meliputi lebih dari 500 juta penduduk, dengan produk domestik bruto (PDB) total 13,5 triliun dollar AS atau 13,4 persen PDB dunia.
Blok ini dimungkinkan kian kuat jika bisa merangkul negara-negara di kawasan Trans-Pasifik lain, termasuk beberapa negara yang sempat menyatakan tertarik bergabung, seperti Indonesia, Korsel, dan Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar