Dipilihnya ketidakadilan berbasis jender sebagai tema Hari Perempuan Internasional 2018 menunjukkan kesetaraan masih menjadi persoalan besar bagi perempuan.

Banyak capaian ditorehkan perempuan di segala bidang. Di bidang politik, di Indonesia, tak sedikit perempuan berkiprah di kabinet. Kita juga pernah memiliki perempuan presiden. Di bidang ekonomi, data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan membaiknya angka partisipasi perempuan pekerja. Masih menurut Kemenakertrans, jumlah perempuan pengusaha bertambah 1,6 juta dalam kurun 2015-2016.

Namun, kita juga tidak menutup mata, praktik diskriminasi, eksploitasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan masih banyak kita temui, mulai dari lingkungan rumah tangga, lingkungan kerja, bisnis, politik, hingga sosial kemasyarakatan.

Diskriminasi tak hanya dalam aspek perlakuan, tetapi juga akses, partisipasi, kontrol, dan kesempatan memperoleh manfaat dari hasil-hasil pembangunan. Dalam skop yang lebih luas, masih banyak kebijakan publik juga diskriminatif pada perempuan.

Kalangan aktivis dan Komisi Nasional Perempuan terutama menyoroti masih maraknya kasus perkawinan anak, kekerasan terhadap anak, diskriminasi perempuan, eksploitasi perempuan pekerja, perdagangan manusia, dan berbagai pelanggaran hak lain, yang menempatkan perempuan sebagai korban. Kekerasan seksual mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan, 60 persen lebih. Data Kementerian Kesehatan, 90 persen perempuan pekerja mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

Perempuan juga menjadi obyek perdagangan dan praktik prostitusi, khususnya mereka dari kalangan ekonomi bawah dan kurang berpendidikan. Di tempat kerja, stereotip, diskriminasi dalam upah dan peluang menduduki jabatan tertentu juga dialami perempuan. Di bidang politik, alokasi keterwakilan sekurangnya 30 persen dari seluruh anggota legislatif juga masih jauh dari harapan. Kondisi sosial ekonomi juga meminggirkan perempuan dalam akses ke pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan hak-hak lain.

Meski perlindungan dari berbagai bentuk praktik diskriminasi diatur tegas, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, sering kali upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender harus berhadapan dengan aturan lebih rendah, seperti peraturan daerah atau aturan yang lain di masyarakat.

Masih kentalnya budaya patriarki dan interpretasi ajaran agama, sering menempatkan perempuan dalam posisi inferior dibandingkan laki-laki. Lebih parah, tak jarang negara menjadi pelaku. Perluasan pasal perzinaan dalam Rancangan UU Hukum Pidana yang cenderung mendiskriminasi dan mengkriminalisasi kelompok marginal, khususnya perempuan, adalah contohnya.

Kondisi itu menyebabkan kebijakan afirmatif mendesak bagi terwujudnya kesetaraan. Membangun kesadaran, dimulai dari lingkungan terkecil, perlu dilakukan. Perspektif jender perlu diadopsi dalam kebijakan pembangunan untuk memastikan perempuan dapat kesempatan dan hak yang sama.