Sebetulnya tak ada yang istimewa dengan aksi protes dan pemogokan yang dilakukan kelompok buruh dan pelajar Perancis. Tradisi mogok dan demonstrasi sudah menjadi bagian dari proses demokrasi di negara itu. Semua presiden Perancis harus terus bergulat dengan kekuatan buruh.

Salah satu pemogokan hebat terjadi saat pemerintahan Presiden Francois Hollande. Ia habis-habisan bernegosiasi dengan serikat pekerja menjelang penyelenggaraan Piala Eropa 2016. Saat itu kredibilitas Perancis dipertaruhkan karena sebagian besar pekerja transportasi, termasuk pilot, mogok. Pekerja kebersihan pun mogok sehingga tumpukan sampah menggunung.

Presiden Macron berambisi untuk memacu perekonomian Perancis yang terus stagnan, antara lain dengan memangkas angka pengangguran yang berkisar 10 persen. Hal itu membutuhkan reformasi UU Perburuhan, untuk mengatur kembali masalah relasi karyawan dan perusahaan, termasuk jam kerja, pesangon, pengangkatan, dan lainnya. Pada semester ini Macron berencana merombak besar-besaran sistem perkeretaapian, termasuk memangkas 120.000 tenaga kerja di sektor publik.

Perancis termasuk salah satu negara dengan jam kerja rendah, di bawah 35 jam per minggu. Sebuah survei pada 2016 menunjukkan, Paris adalah yang terendah jam kerjanya, rata-rata 30,8 jam per minggu (bandingkan dengan Jakarta yang rata-rata 40,42 jam per minggu).

Ambisi Macron bahkan melampaui negaranya. Ia juga ingin mereformasi Uni Eropa melalui gagasan penguatan zona euro dan pembentukan institusi semacam Dana Moneter Internasional (IMF) untuk Uni Eropa. Persoalannya, sebelum mereformasi blok UE, Macron harus bisa mereformasi negerinya terlebih dulu, karena stagnasi perekonomian Perancis berdampak terhadap pelambatan ekonomi UE.

Langkah-langkah ke arah itu dirancang Macron sejak masih berkampanye, dengan terus melibatkan dan berkonsultasi dengan sejumlah serikat pekerja. Namun, dalam aksi protes Kamis (22/3) lalu, serikat pekerja, pelajar, dan guru menuntut Macron melakukan konsultasi dengan mereka secara "lebih mendalam". Situasi itu juga diperkeruh oleh lawan-lawan politiknya yang memanfaatkan isu ini untuk menyerang Macron.

Secara politis, Macron didukung parlemen yang kuat karena koalisi partainya menguasai hampir dua pertiga kursi parlemen. Namun, publik Perancis juga tidak lupa bahwa dukungan masif kepada Macron pada pemilu 2017 disebabkan lawan politiknya di final pemilihan presiden adalah Marine Le Pen dari partai ekstrem kanan. Karena itu, tak sedikit warga yang memilih Macron lebih karena tak mau Le Pen menang.