
Tidak ada yang menyangkal, kemunculan transportasi dalam jaringan memudahkan banyak pihak. Revolusi digital telah membuka lanskap baru transportasi.

Petugas Kepolisian merekam data calon pemohon Surat Izin Mengemudi (SIM) pada pembuatan SIM A Umum kolektif di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (25/2). Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Polri menggelar pembuatan SIM A Umum kolektif dan bersubsidi bagi pengemudi angkutan sewa khusus berbasis aplikasi atau taksi online dan taksi konvensional guna mendukung Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Ketegangan antara transportasi online atau dalam jaringan (daring) dan transportasi konvensional terjadi di sejumlah tempat, bahkan di sejumlah negara. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, mulai ada penyesuaian dan adaptasi.
Kehadiran transportasi daring tidak terhindarkan. Transportasi daring sebagai wujud dan implementasi kolaborasi ekonomi—perusahaan penyedia aplikasi, mitra pengemudi, dan penumpang—telah mengubah perilaku masyarakat. Ketiga pihak mendapat manfaat.
Namun, peristiwa yang terjadi belakangan ini, seperti kejahatan yang menimpa Yun Siska Rohani dan ST oleh sopir taksi daring, menunjukkan bahwa kemudahan akibat revolusi digital memunculkan aspek lain, yakni keselamatan penumpang. Aspek keselamatan itu sepertinya terpinggirkan. Itulah sisi lain teknologi. Selalu saja ada yang memanfaatkan kelemahan sistem untuk kepentingan dirinya sendiri atau berbuat kejahatan.
Perekrutan mitra pengemudi tampaknya harus menjadi perhatian perusahaan aplikasi. Edukasi terhadap mitra pengemudi, termasuk etika berkomunikasi kepada penumpang, haruslah menjadi tanggung jawab perusahaan aplikasi.
Di era serba rating, mitra pengemudi juga harus memahami, rating tinggi akan didapat jika pelayanan bagus. Rating dari konsumen yang bagus akan berkorelasi dengan penghasilan yang bagus. Karena itulah perusahaan aplikasi harus punya tanggung jawab mengedukasi mitra pengemudi yang memang berasal dari berbagai latar belakang. Perusahaan aplikasi, secara moral dan hukum, harus ikut bertanggung jawab terhadap perilaku mitra pengemudi yang kemudian melakukan tindak kejahatan atau pelecehan terhadap penumpang.
Dalam konteks itulah, negara harus hadir. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108/2017 harus diberlakukan agar prasyarat untuk menjadi mitra pengemudi lebih memenuhi syarat formal dan minimal. Prasyarat soal surat izin mengemudi, uji kir, dan sertifikat kompetensi merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi. Jangan hanya karena ingin cepat mengejar pertumbuhan atau valuasi, persyaratan dikendurkan. Data dan informasi pengemudi berikut fotonya di mobil, sebagaimana sudah diberlakukan pada taksi konvensional, harus diterapkan untuk memberikan kenyamanan kepada para penumpang.
Pemerintah harus menggunakan otoritasnya agar perusahaan aplikasi dan mitra pengemudi menempatkan keselamatan penumpang di atas segalanya. Secara teknologi, sangat mungkin dibuat adanya panic button (tombol panik) dalam aplikasi. Ketika penumpang mendapat ancaman atau diperlakukan tidak menyenangkan, dia tinggal memencet tombol sehingga publik dan kantor pusat perusahaan aplikasi mengetahui apa yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar