Namun tampaknya ini tidak terjadi pada Presiden Rusia Vladimir Putin. Dari hasil pemilu Minggu (18/3), petahana ini memperoleh 76,68 persen dari 56 juta lebih pemilih. Kemenangan ini sudah diduga. Seperti diwartakan Fox News (18/3), exit poll resmi menunjukkan Putin memperoleh lebih dari 75 persen suara dalam pilpres yang mengantarnya ke puncak kekuasaan di Rusia hingga tahun 2024.

Pada pilpres tahun 2012 ia menang dengan persentase suara di bawah 65 persen. Kemenangan ini menjadikan Putin penguasa paling kuat di Rusia semenjak Josef Stalin.

Pertanyaannya bukan siapa pemenang, melainkan bagaimana cara memperoleh suara. Harian ini, Senin (19/3), menyebutkan, Komisi Pemilihan Pusat mendorong rakyat untuk memberikan suaranya dalam pemilihan yang diikuti delapan calon, termasuk Putin yang mengejar masa jabatan ketiga sebagai presiden.

Sebagian pemilik suara mengatakan ditekan atasan agar datang ke TPS, dan karena itu ada yang berswafoto di bilik suara untuk dijadikan sebagai bukti sudah memberikan suara. Namun, ini juga bukan satu-satunya cerita karena juga ada pemilih yang bersemangat untuk memberikan suaranya dengan harapan Putin terpilih kembali.

Untuk yang terakhir ini, alasan yang dikemukakan tidak perlu perubahan, dan menginginkan Putin bisa menyelesaikan apa yang sudah dimulainya. Yang lain mengatakan, dirinya mendukung karena melihat kebijakan luar negeri Putin benar.

Golongan terakhir ini melihat bagaimana Putin—sekalipun dengan menggunakan kekuatan—terus berusaha mengembalikan pamor negaranya sebagai kekuatan dunia. Orang-orang mengingat bagaimana ia menyerbu dan merayah bagian timur Ukraina, dan terus membantu memperjuangkan kelanggengan kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Putin juga diuntungkan dengan terpilihnya Donald Trump yang dipandang sebagai pemimpin AS yang paling pro-Rusia dalam sejarah modern. Banyak kalangan, khususnya intelijen, percaya bahwa Rusia campur tangan dalam pilpres AS tahun 2016 dengan menggiring hasilnya supaya menguntungkan Trump.

Namun, politik dasar AS akhirnya menghadapkan Trump dengan Putin. Pertengahan Maret lalu Trump mengikuti Inggris dan negara Eropa lain yang menuduh Moskwa menggunakan gas saraf mematikan untuk meracun mantan spion Rusia dan anak perempuannya di dekat rumah mereka di kota Salisbury, Inggris. Pada hari yang sama, AS juga menjatuhkan sanksi atas campur tangan Rusia dalam pilpres 2016.

Perubahan sikap AS ini memunculkan pertanyaan, apakah Trump berubah pikiran dan tidak terbebani opini bahwa kemenangannya dibantu campur tangan Rusia? Ini hal rumit karena dari aspek kebijakan luar negeri, kepentingan AS dan Rusia berbeda. Ke depan, banyak langkah pemimpin Rusia yang di satu sisi menyiratkan upayanya mengembalikan kejayaan Rusia, di sisi lain menghadapkannya pada AS dan sekutu Baratnya

Kompas, 20 Maret 2018