Pemilu presiden di Mesir yang diselenggarakan selama tiga hari, 26-28 Maret 2018, tidak menghasilkan kejutan. Sejak semula, bahkan sebelum pemilu ketiga setelah "Arab Spring" 2011 itu digelar, pemenangnya sudah diketahui, yakni Abdel Fatah el-Sisi, petahana yang memenangi pemilu presiden 2014. Tidak aneh kalau ada yang menyebut bahwa ini bukan pemilu, melainkan referendum.
Negara-negara Barat sekutu Mesir bahkan menyebut pemilu lalu sebagai "lelucon". Apalagi setelah sejumlah kandidat—Letjen Sami Anan, politisi sayap kanan Mortada Mansour, mantan auditor antikorupsi Hisham Geneina, Kol Ahmed Konsowa, mantan PM Ahmed Shafif, pengacara sayap kiri Khaled Ali, Abdul Moneim Aboul Fotouh, dan kemenakan mantan Presiden Anwar Sadat, yakni Mohamed Anwar al-Sadat—yang semula hendak menjadi lawan Sisi—memilih mengundurkan diri dan dipaksa mundur.
Oleh karena itu, tidak mudah mengatakan bahwa pemilu lalu dilaksanakan secara bebas dan fair. Berbagai kelompok hak asasi manusia Mesir dan internasional, termasuk Human Rights Watch dan Komisi Ahli Hukum Internasional, menuduh Sisi "menginjak-injak persyaratan minimal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pemilu bebas dan fair" dalam usaha untuk berkuasa kembali (The Guardian, 13/2/2018).
Pada akhirnya, lawan Sisi hanya satu, yakni politisi dari Partai El-Ghad, yakni partai liberal berhaluan tengah pro-pemerintah, yakni Mousa Mostafa Mousa. Ibarat kata, Mousa hanyalah kandidat "pendamping"—sebuah istilah yang akrab dengan telinga kita di zaman Orde Baru—untuk memberikan kesan bahwa pemilu berjalan secara demokratis.
Hasilnya, Sisi meraih 97,08 persen suara. Jumlah pemilih terdaftar 60 juta orang dan yang menggunakan haknya hanya 41,5 persen. Jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, jumlah pemilih yang menggunakan haknya kali ini turun tujuh poin. Pada 2014—Sisi melawan Hamdeen Sabahi—yang dimenangi Sisi dengan merebut 96,9 persen suara, jumlah pemilih terdaftar 54 juta orang, dan yang menggunakan haknya 25,5 juta atau 47,5 persen.
Jumlah pemilih terbanyak yang menggunakan hak pilihnya adalah pada pemilu pertama setelah Revolusi Arab Spring (2011), yakni pada tahun 2012. Saat itu—Mohamed Morsi melawan Ahmed Shafik—jumlah pemilih terdaftar 51 juta dan yang menggunakan haknya 52 persen. Pemilu dimenangi Morsi dengan meraih 51,73 persen suara.
Tujuh tahun
Mengapa jumlah pemilih yang menggunakan haknya pada pemilu kali ini lebih sedikit dibandingkan pemilu sebelumnya, 2014? Apakah ini merupakan keberhasilan kelompok "boikot pemilu?" Apakah bentuk protes terhadap kebijakan Sisi yang antara lain melibas lawan-lawan politiknya, yang membungkam kebebasan media, yang melarang organisasi-organisasi prodemokrasi dan masyarakat warga, dan juga menerbitkan sejumlah undang-undang yang membatasi hak-hak rakyat (Gonda Yumitro, Heavy Nala Estriani: 2018)?
Turunnya jumlah pemilih yang menggunakan haknya memang secara sederhana bisa dibaca sebagai turunnya kepercayaan rakyat kepada Sisi (meski lebih tinggi dibandingkan zaman Hosni Mubarak. Pada Pemilu 2005, dari 32 juta warga yang memiliki hak pilih, hanya 23 persen yang menggunakan haknya dan 88,57 persen memberikan suara pada Mubarak).
Padahal, banyak capaian pemerintahan Sisi. Misalnya, angka inflasi turun (2014: 12 persen, 2017: 33 persen, per Maret 2018, 15 persen), pengangguran menurut Bank Dunia (2014: 13,2 persen, 2015: 12,8 persen, 2016: 12,1 persen, dan 2017: 11,6 persen), sementara pengangguran di kalangan anak muda (yang pada tahun 2011 menjadi motor dan jiwa Arab Spring), menurut IMF, 40 persen.
Pengangguran memang masih menjadi masalah bagi Mesir. Meski demikian, jika dibandingkan dengan angka pengangguran pada tahun 2011, saat revolusi pecah, pada tahun 2017 turun walau sedikit: dari 12 persen menjadi 11,6 persen (Statista: 2017). Karena itu, upah minimum nasional yang sejak 2013 hingga 2018 tidak berubah, yakni 1.200 pounds Mesir (174 dollar AS), dirasakan kurang. Sekarang, 1.200 pounds Mesir hanya senilai 68 dollar AS (Al Jazeera). Dengan demikian, wajar kalau rakyat kecewa karena kondisi tidak lebih baik dibandingkan sebelum Arab Spring.
Apalagi, 28 persen penduduk Mesir hidup di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan itu lebih tinggi dibandingkan tahun 2010/2011, yakni 25,2 persen. Mesir saat ini mendapat dana talangan dari IMF sebanyak 12 miliar dollar AS.
Belok kanan
Apakah pemilu presiden lalu menjadi ujung dari cita-cita Arab Spring? Sebenarnya, sejak militer di bawah kepemimpinan Sisi menyingkirkan Morsi (2013)—meski Morsi dan Persaudaraan Muslim dengan sayap politiknya Partai Keadilan dan kebebasan, juga memberikan andil besar—transisi demokrasi telah gagal.
Sejak itu, Sisi mengonsolidasikan dan meningkatkan kemungkinan peran militer dalam pengambilan keputusan politik, kebijakan (terutama di Semenanjung Sinai), investasi, pembangunan negara, dan pemerintahan negara secara umum. Mesir juga menambah jumlah 30 persen personel militer dari 320.000 personel (2011) yang aktif menjadi 468.500 (2014) termasuk cadangan (Rasmus Alenius Boserup & Jakob Wichmann: 2015).
Kini, militer memainkan peranan yang lebih besar (bahkan dibandingkan di zaman Mubarak) dalam bidang politik. Di zaman Mubarak, militer berkuasa tetapi tidak memerintah, meminjam istilahnya Steven A Cook (2007). Pada zaman Sisi sekarang ini, militer berusaha menguasai dan memerintah. Rezim sekarang adalah sebuah piramida kontrol dengan militer di puncak; dinas intelijen di tengah; pusatpusat kekuasaan lain, seperti polisi, lembaga kehakiman, dan birokrasi di bawah, sebagai dasar (Ashraf El Sherif: 2017).
Dengan demikian, militer menampilkan dirinya sebagai pengawal sekaligus penjaga (guardian) negara—atas nama memerangi terorisme dan kelompok radikal yang mengancam eksistensi negara—yang eksklusif dengan hak menguasai, memerintah tanpa hiasan-hiasan demokratis atau pembagian pekerjaan dengan institusi negara yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar