Dalam sistem politik Indonesia, partai politik memegang peran yang sangat sentral. Tak ada jalan menuju kekuasaan, tanpa melalui partai politik.
Menjadi anggota legislatif—minus Dewan Perwakilan Daerah— harus melalui pintu partai politik. Mau menjadi kepala daerah, komisioner komisi negara, hakim agung, hakim konstitusi, haruslah bersentuhan dengan partai politik. Tangan partai politik di lembaga perwakilan, yakni DPR. Instrumen yang selalu dipakai DPR sebagai saringan adalah uji kelayakan dan kepatutan. Bahkan, untuk pencalonan duta besar pun tangan partai politik bermain.
Eksekutif tidak bisa bekerja sendiri dalam menjalankan program pembangunan karena anggaran berada di tangan DPR atau DPRD melalui APBN atau APBD. Peran partai politik demikian sentral dan strategis dalam sistem politik Indonesia. Karena itulah perekrutan kader politik menjadi sangat-sangat penting. Menjadi tugas partai politik merekrut dan membina kadernya untuk tetap berintegritas. Partai politik wajib membuat sistem untuk mencegah terjadi korupsi di kalangan politisi.
Terjadinya korupsi bersama-sama di DPRD Sumatera Utara menunjukkan bagaimana rapuhnya integritas para politisi itu. Seperti diberitakan harian ini, KPK menetapkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 menjadi tersangka. Sebelumnya, 18 anggota DPRD Kota Malang juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Sejak KPK berdiri, sudah 122 anggota DPRD menjadi tersangka. Modusnya sama, yakni korupsi terjadi pada saat pembahasan APBD. Publik tentunya tidak ingin wakil-wakil mereka di DPRD adalah para tersangka.
Kian banyaknya politisi yang terjerat korupsi sudah sampai tahap mencemaskan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, hal itu bisa membangkitkan ketidakpercayaan publik kepada partai politik. Tren itu bisa menciptakan ketidakpercayaan publik kepada demokrasi juga. Fenomena korupsi pada wakil rakyat itu hanya membenarkan pandangan politik Harold Laswell bahwa politik itu semata-mata hanya siapa mendapat apa, kapan, di mana, dan bagaimana mendapatkannya.
Komitmen partai politik kini sedang diuji. Meskipun pada sisi lain, kita memahami mahalnya sistem politik ikut mendorong para politisi untuk mencari dana. Persekongkolan dengan eksekutif adalah salah satu cara untuk mendapatkan dana besar. Jika memang sistem politik mahal menjadi penyebab utama terjadinya korupsi, menjadi tugas partai politik bersama pemerintah pulalah yang harus merevisinya. Aturan soal biaya politik mahal harus diubah.
Meski masih kontroversi, kita mendorong KPU berani mengeluarkan putusan KPU yang melarang eks napi korupsi mencalonkan diri. Memang aturan tersebut berpotensi dikritik partai politik atau diuji materi ke Mahkamah Agung, tetapi justru di sana kita akan melihat bagaimana sebenarnya komitmen partai politik soal pemberantasan korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar