Ini kali yang kedua, ketiga pemimpin negara itu—dari Rusia, Turki, dan Iran—bertemu membahas masa depan Suriah. Pertemuan pertama diselenggarakan di Sochi, Rusia, pada bulan November tahun lalu. Pada akhir pertemuan, ketika itu, mereka bersepakat untuk tetap mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan, integritas teritorial, dan persatuan Suriah. Ketiga pemimpin juga menyatakan akan terus bekerja sama untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas Suriah, sebagaimana diamanatkan oleh Dekrit 2254 yang diterbitkan DK PBB.

Dalam pertemuan di Ankara, Rabu lalu, yang merupakan kelanjutan pertemuan pertama, Rusia, Turki, dan Iran bertekad untuk mewujudkan "gencatan senjata abadi di antara pihak-pihak yang berkonflik di Suriah."

Pertanyaan yang segera muncul dan bernada pesimistis adalah mungkinkah gencatan senjata abadi terwujud di Suriah? Apakah mungkin perdamaian—atau sekurang-kurangnya gencatan senjata abadi—bisa diwujudkan tanpa mengikutsertakan AS, yang juga mempunyai peran dalam konflik di Suriah?

Mengapa pertanyaan itu muncul? Konflik di Suriah, yang mula pertama adalah demonstrasi rakyat yang menuntut perbaikan hidup, kebebasan politik, demokratisasi, antara lain, telah berkembang menjadi konflik yang melibatkan banyak pihak, banyak negara. Bahkan, konflik di Suriah dalam perjalanannya menjadi konflik yang bernuansa sektarian, dan akhirnya Suriah menjadi mandala pertarungan kepentingan sejumlah negara: AS, Rusia, Iran, Turki, Arab Saudi, dan sejumlah negara lainnya.

Memang, kalau pemimpin tiga negara itu—Putin, Erdogan, dan Rouhani—bisa mewujudkan impian mereka, ini adalah sebuah terobosan yang sangat istimewa. Sebab, tidak menjadi rahasia bahwa ketiga negara—selain memiliki kepentingan yang sama— juga memiliki kepentingan nasional sendiri-sendiri berkait dengan Suriah. Dengan kata lain, ketiga negara bekerja sama sekaligus bersaing di Suriah.

Rusia ingin menjadi wasit utama dalam konflik di Suriah, selain memiliki kepentingan strategis militer, yakni mempertahankan kehadirannya di Tartus. Karena itu, Rusia ingin membatasi kehadiran dan pengaruh Turki dan Iran di Suriah. Pada saat yang sama, Rusia ingin menggunakan pengaruh politiknya di Suriah dan mengurangi pengaruh Barat, terutama AS.

Sementara itu, Turki ingin mengurangi pengaruh Iran dan membatasi kemampuan Suriah untuk melakukan manuver di antara Rusia dan Iran. Iran memiliki kepentingan untuk tetap mendukung Damaskus sebagai jalan untuk memberikan dukungan kepada kelompok Hezbollah di Lebanon.