Skor itu diperoleh dari penilaian kemampuan peserta didik usia sekolah (SD-SMA) dalam bidang sains, membaca, dan matematika. Penelitian menggunakan metode Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trend International Mathematics and Science Study (TIMSS). Hasil riset 29 negara di Asia Timur dan Asia Pasifik itu dihimpun Bank Dunia dari berbagai sumber, termasuk Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Awalnya Bank Dunia berasumsi bahwa nilai PISA ini berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita. Ternyata tidak. Pendapatan per kapita Vietnam setengah dari Indonesia, yakni 5.668 dollar AS. Jika berdasarkan pendapatan per kapita itu, diperkirakan Vietnam hanya meraih skor 394 pada tes PISA. Namun, kenyataannya, Vietnam meraih skor 525. Sebaliknya, Indonesia dengan pendapatan per kapita 10.385 dollar AS, justru mendapat skor hanya 403. Yang membuat kita tambah miris, 20 persen belanja dari APBN diprioritaskan untuk pendidikan.
Sebenarnya, peringatan-peringatan seperti ini sudah lama kita dapatkan. Organisasi seperti OECD dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sudah beberapa kali mengingatkan kita tentang lemahnya kinerja sistem pendidikan Indonesia, berdasarkan kemampuan membaca, matematika, dan sains para siswa kita.
Apakah kita terpengaruh oleh peringatan-peringatan seperti ini? Jawabnya: belum terpengaruh. Sebab, belum ada respons atau kebijakan yang signifikan dari pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan ini.
Padahal, seharusnya kenyataan dan fakta ini membuat kita berpikir ulang. Kita perlu bertanya, apakah langkah-langkah yang kita lakukan selama ini dalam upaya memajukan pendidikan dasar dan menengah sudah benar? Mengapa kita terus menerus terpuruk pada lubang yang sama? Bahkan, keledai pun tidak mau jatuh pada lubang yang sama dua kali.
Mengapa ini bisa terjadi? Apakah skor PISA ini tidak penting buat kita? Apakah membicarakan skor PISA berarti mendangkalkan makna dari tujuan pendidikan yang bersifat luhur dan sakral itu?
Mengelak dari tanggung jawab
Paling tidak ada tiga masalah besar yang membuat masalah pendidikan dasar dan menengah kita menjadi gagal fokus. Pertama, kita tidak pernah mengakui bahwa sistem pendidikan kita telah gagal bekerja berdasarkan sebuah penilaian yang berlaku umum dan objektif.
Saya yakin sekali, menanggapi hasil penilaian Bank Dunia ini, ada saja cara kita mengelak untuk tidak mengakuinya. Kita pandai mencari alasan untuk menghindari penilaian yang objektif dari pihak lain. Kita pandai ngeles. Akibatnya, rekomendasi dari pihak lain tidak pernah kita jadikan umpan balik untuk memperbaiki kinerja kita dalam upaya memajukan pendidikan dasar dan menengah.
Kita selalu membawa persoalan yang sederhana ke masalah yang sifatnya filosofis. Sebagai contoh, skor PISA yang rendah, pasti akan di-counter dengan pernyataan: tujuan pendidikan nasional memang bukan untuk skor-skoran.
Berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, memang dinyatakan: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Dengan demikian, tujuan mencari skor itu tujuan yang sangat sempit, kecil, dan dangkal sekali.
Tak ada yang salah dengan UU No 20/2003 ini. UU memang diciptakan dengan memuat landasan filosofis, bersifat sangat umum, holistik, dan komprehensif. Tetapi mempertanggungjawabkan hasil kinerja kita dengan berlindung dibalik UU yang bersifat umum betul-betul merupakan sifat yang fatalistik dan mengundang bangsa Indonesia ke arah bencana yang besar.
Padahal dalam UU yang sama, Pasal 4 ayat 5, jelas dinyatakan: "Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat." Kalau kita kaitkan dengan Pasal 4 ayat 5 ini, jelaslah bahwa skor PISA kita yang rendah dan peringatan-peringatan sebelumnya yang dikeluarkan oleh OECD, Bank Dunia, ADB dan lain-lain menunjukkan bahwa kita belum melaksanakan perintah UU secara serius.
Kedua, pendidikan dasar dan menengah kita jadi gagal fokus disebabkan kualitas guru yang juga masih kurang. LaporanKompas (12/3/2018) berjudul Jalan Terjal Mencetak Guru yang Mumpunimencerminkan betapa sulitnya mencari guru yang bermutu. Menjadi guru, seperti halnya dosen, memang harus menguasai materi yang diajarkannya secara utuh. Tanpa penguasaan materi yang kuat, seorang guru tidak akan punya rasa percaya diri yang tinggi dan cenderung menegakkan benang basah. Guru yang tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan sulit memotivasi para siswa untuk belajar dan berlatih dengan sungguh-sungguh.
Oleh sebab itu, ketika kita meluluskan seorang guru yang kompetensinya rendah untuk mengajar, sebenarnya kita bukan sedang menolong yang bersangkutan untuk memberinya lapangan pekerjaan, tetapi kita sedang membunuhnya secara perlahan-lahan. Kita yang meluluskan guru tersebut, berpotensi melanggar HAM. HAM guru yang bersangkutan, dan HAM murid-murid yang diajarkannya.
Matematika dalam K-2013
Ketiga, masalah Kurikulum 2013 (K-2013): secara teoritis tampak ideal tetapi secara praktis di lapangan sulit diaplikasikan. Kita harus berani meninjau ulang pemberlakuan K-2013.
Ketika saya SD pada tahun 1967-1973, pelajaran matematika diberikan secara simpel dan jelas, dan dipenuhi dengan latihan-latihan yang fokus. Sekarang pelajaran matematika dikerdilkan dan masuk dalam bagian dari pelajaran "Tematik".
Akibatnya, pelajaran matematika jadi rumit, tidak fokus dan bercampur-baur dengan pelajaran lain. Apakah anak SD akan mampu menyerap pelajaran matematika yang seperti ini? Kritik dari Prof Wono Setya Budhi (Kompas, 21/3/2018) terhadap K-2013 yang terkait dengan pelajaran matematika hendaknya menjadi perhatian kita semua.
Tak ada jalan lain bagi bangsa ini kecuali kita harus respek terhadap rekomendasi Bank Dunia dan penilaian-penilaian objektif lainnya. Debat semantik dan filosofis selama ini tentang pendidikan dasar dan menengah, seharusnya diarahkan untuk kemajuan bangsa ini. Skor PISA kita yang rendah mencerminkan kegagalan kita dalam menjalankan UU No 20/2003 yang merupakan amanah rakyat.
Seperti halnya di bidang olahraga, dalam dunia pendidikan pun kita perlu mencetak rekor-rekor dan skor-skor yang tinggi, yang diukir secara massal oleh para siswa kita. Tidak ada makna pendangkalan pendidikan di sini. Yang ada justru pencapaian prestasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar