Ditinjau dari sudut ukuran dan pengaruh, Facebook merupakan proyek manusia yang paling berhasil saat ini. Dengan jumlah pengguna aktif sebanyak 2,13 miliar per bulan menurut data akhir Desember 2017, perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg ini telah melebarkan sayapnya dengan begitu cepat sejak peluncurannya secara terbatas untuk para mahasiswa Harvard tahun 2004.

Tak ada teknologi atau bentuk pelayanan yang diadopsi sedemikian cepat dan digunakan sedemikian aktif sepanjang sejarah manusia. Indonesia, menurut laporan awal 2018 dari We Are Social dan Hootsuite, berada di peringkat ketiga setelah Filipina dan Brasil dalam kategori penggunaan waktu untuk media sosial, termasuk Facebook, yaitu selama tiga jam 23 menit per hari.

Faktor di balik keberhasilan Facebook bukan hanya menyangkut teknologi dan investasi, juga menyangkut diri para penggunanya sebagai manusia. Perusahaan teknologi ini tahu betul bagaimana memanfaatkan hasrat-hasrat mendalam manusia dan mengarahkannya pada perilaku yang diharapkan.

Hasrat mimetik

Tidak banyak orang menyadari, ketika berada di Universitas Harvard, Zuckerberg tidak hanya mempelajari sains komputer, juga psikologi. Bidang terakhir ini sangat menentukan arah perkembangan Facebook yang bermula sebagai sebuah direktori foto mahasiswa.

Ketika diluncurkan, Facebook hanya dapat digunakan oleh para mahasiswa Harvard, lalu diperluas ke sejumlah kampus elite lain di AS dan Inggris. Idenya adalah agar para mahasiswa dapat saling melihat apa yang dilakukan rekan-rekan mereka di kampus-kampus setingkat mereka. Di sinilah Zuckerberg tampaknya mulai menerapkan ilmu psikologi dalam mengembangkan Facebook, khususnya dengan memanfaatkan rasa ingin tahu manusia. Ia memahami cara berpikir dan perilaku manusia, khususnya dalam dinamika sosial menyangkut popularitas dan status.

Kombinasi teknologi komputer dan psikologi manusia mendapatkan bentuk yang lebih jelas lagi ketika Facebook memperoleh investasi pertama pada Agustus 2004 sebesar 500.000 dolar AS dari Peter Thiel, pengusaha Sillicon Valley.

Ketika studi di Universitas Stanford, Thiel memilih bidang konsentrasi filsafat dan tertarik pada pemikiran sejarawan dan filsuf Perancis, Rene Girard, khususnya mengenai hasrat untuk meniru (mimetic desire). Dalam bukunya, Things Hidden Since the Foundation of the World (1987),Girard memperlihatkan bahwa semua proses pembelajaran dibangun atas tindakan meniru. Seandainya manusia tiba-tiba berhenti meniru, demikian Girard, semua bentuk budaya akan hilang.

Dalam wawancaranya dengan Business Insider tahun 2014, Thiel menegaskan pemikiran Girard bahwa tindakan imitasi tidak dapat dihindari. Kita melakukan apa yang kita lakukan karena orang lain melakukan hal yang sama. Karena itulah, menurut Thiel, manusia sering bersaing untuk hal-hal yang sama: sekolah, pekerjaan, dan pasar yang sama.

Tampaknya logika "imitasi sebagai akar dari semua perilaku" ada di balik keputusan Thiel untuk melakukan investasi atas Facebook. Dalam media sosial ini setiap pengguna dapat melihat semua yang dimiliki dan dilakukan oleh para pengguna lainnya dalam bentuk kisah, foto, maupun video. Ia tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mendapatkan informasi tersebut karena para pengguna lain menyediakan semuanya secara cuma-cuma.

Orang mendapatkan gagasan mengenai tempat berlibur hanya karena melihat foto liburan yang diunggah rekan pengguna. Demikian pula asal mula keputusan banyak pengguna membeli baju, sepatu, anting, dan berbagai produk lainnya. Jadilah Facebook sebagai wahana bagi para penggunanya untuk memenuhi hasrat mimetik mereka. Tidaklah mengherankan Facebook menarik perhatian banyak perusahaan iklan yang ingin menawarkan produknya kepada penggunanya.

Pengakuan dan popularitas

Hasrat untuk meniru orang lain tidak akan dapat dipenuhi jika kita tidak dapat melihat apa yang dimiliki dan dilakukan oleh orang lain. Isi (content) seperti ini tidaklah disediakan oleh Facebook, tetapi oleh para penggunanya. Tanpa berita, foto atau video yang mereka unggah, Facebook bukanlah platform apa-apa. Karena itu, tanpa disadari, para pengguna ini sebenarnya bekerja secara gratis untuk perusahaan teknologi ini melalui unggahan mereka. Dalam zaman apa pun, mencari pekerja gratis tentu saja sulit, kecuali ada faktor lain yang membuat hal ini tidak dilihat sebagai sebuah pekerjaan. Faktor lain ini adalah hasrat manusia terhadap pengakuan orang lain dan popularitas.

Mungkin sebagian orang tidak setuju bahwa mereka memiliki keinginan untuk dikenal. Secara pribadi mereka mungkin tidak. Akan tetapi, seandainya manusia tidak memiliki hasrat tersebut, mustahil Facebook memiliki sekian banyak pengguna yang dengan sukarela mengunggah foto dan video terbaik kegiatan-kegiatan mereka. Melalui media sosial ini mereka ingin dilihat oleh orang lain sebagaimana mereka ingin dilihat. Demi kepentingan ini, tidak jarang mereka mengedit foto-foto yang diunggah agar wajah mereka tampak lebih cantik dan berseri. Facebook pun dengan cepat menjadi wadah bagi para penggunanya untuk saling menunjukkan status sosial, popularitas, kehebatan dan bahkan kekayaan.

Dalam hal ini misi awal Facebook untuk "membuat dunia semakin terbuka dan terkoneksi" tampaknya memang tercapai karena para penggunanya dapat saling mengenal melampaui batas-batas fisik dan geografis. Di sini konektivitas diperlihatkan sebagai tujuan pada dirinya sendiri: to be on Facebook is to be connected.

Mungkin karena menyadari sejumlah akibat negatif dari keterbukaan dan konektivitas ini, termasuk pengaruh Facebook terhadap hasil Pemilu AS tahun 2016 dan melimpahnya berita bohong dalam platform ini, Zuckerberg pun memperbarui pernyataan misinya pada pertengahan 2017 untuk memampukan orang guna membangun komunitas dan semakin mendekatkan dunia.

Sementara pembaruan misi ini patut diapresiasi, Facebook tetap menghadapi persoalan penyalahgunaan platform tersebut untuk kepentingan pribadi, bisnis, maupun politik. Hasrat terhadap  pengakuan dan popularitas membuat banyak orang tidak ragu melakukan apa saja untuk memenuhinya, termasuk membentuk "komunitas" akun-akun palsu dan bot.

Ketidakraguan para pengguna untuk mengunggah berbagai materi menyangkut diri mereka di Facebook sesungguhnya perlu diprihatinkan. Bayangkan kalau kita bertemu orang yang tidak kita kenal di jalan dan orang tersebut menanyakan identitas kita seperti nama, alamat, status relasi, anak, hobi. Hampir pasti kita tidak akan memberikan informasi demikian karena khawatir informasi tersebut dapat disalahgunakan dan membahayakan kita sendiri. Namun, dalam dunia digital kewaspadaan ini sepertinya hilang begitu saja. Mengapa? Dugaan saya, dalam dunia digital, kita mengasumsikan sebuah interaksi dengan mesin, bukan dengan manusia. Karena itu, kita dengan mudah mengunggah di Facebook berbagai materi menyangkut diri dan keluarga kita yang dalam kehidupan konkret tidak akan kita bagikan dengan mudah.

Hal yang kita lupakan adalah bahwa justru mesin atau komputer dapat mengingat dan mencatat jauh lebih banyak daripada manusia mana pun. Artinya, Facebook mengenal kita jauh lebih dalam daripada orang yang paling dekat dengan kita sekalipun, bukan saja melalui foto dan video yang kita unggah, tetapi juga semua klik like dan iklan yang kita tekan.

Bagi sejumlah pengamat teknologi, seperti Jonathan Taplin dalam Move Fast and Break Things (2017) dan Antonio Garcia Martinez dalam Chaos Monkeys (2016), Facebook merupakan surga bagi para pemasang iklan, tetapi mimpi buruk bagi para penggiat privasi.

Dalam pengamatan mereka, sebenarnya para pengguna produk dari Facebook dan sebagai produk, (data) mereka dijual kepada para pelanggannya, yaitu pemasang iklan yang ingin menggunakan jaringan ini dan menargetkan iklan tertentu pada pengguna tertentu.

Rekomendasi pengguna kepada rekan- rekannya turut berperan dalam hal ini, seperti diungkapkan oleh Zuckerberg ketika meluncurkan program Iklan Facebook (Facebook Ads) tahun 2007: "Tidak ada yang lebih mampu memengaruhi orang daripada rekomendasi dari seorang sahabat yang dapat dipercaya".

Pola ini digunakan bukan hanya menyangkut iklan, juga soal berita. Karena itu, digunakanlah algoritma untuk menyeleksi berita-berita yang hendak disampaikan kepada para pengguna tertentu, sebagaimana terungkap dalam skandal penyalahgunaan data pribadi mereka oleh Cambridge Analytica demi kepentingan kampanye politik.

Facebook itu ibarat taman bermain yang sangat besar dengan berbagai permainan yang selalu baru dan tiada habisnya. Pengguna bebas menggunakan semua permainan asal mereka bersedia mengungkap berbagai identitas mereka dan memberi sumbangan khas pada taman itu. Rupanya banyak orang tak berkeberatan dengan persyaratan ini.

Distraksi

Haruslah diakui, ada banyak hal yang dapat dilakukan, dilihat dan dinikmati pada Facebook. Karena itu, media sosial seperti Facebook pun sering jadi tempat mencari distraksi bagi banyak orang yang ingin keluar dari kegiatan rutin mereka.

Menatap ke luar jendela untuk menikmati pemandangan bukan lagi cara bagi manusia zaman now dalam melakukan sebuah perjalanan. Perhatian tertuju pada layar telepon seluler dan apa saja yang dipresentasikan dalam dunia digital. Dengan keingintahuan yang besar, termasuk pada hal-hal spektakuler dan mengejutkan, pengguna media digital akan mengeklik apa saja yang menarik minat mereka.

Hasrat seperti ini membuat berita bohong (fake news) mudah sekali dibaca dan disebarkan, khususnya ketika penggunanya didorong juga hasrat terhadap pengakuan dari orang lain dan popularitas.

Don't be evil, demikian moto dan kode etik Google ketika diluncurkan tahun 2000. Barangkali moto tersebut dipilih karena pencetusnya tahu bahwa ada banyak hal jahat yang dapat dilakukan dalam sebuah ranah baru seperti internet. Kebaruan, ketidaktahuan dan tiadanya regulasi dapat membuat para pemain dalam ranah ini jadi jahat dan bertindak dalam cara yang tidak dipahami, baik oleh pengguna maupun penegak hukum. Didukung oleh hasrat-hasrat manusiawi kita untuk meniru, diakui, menjadi populer, dan mencari distraksi, unsur-unsur ini tampaknya menyatu menjadi sebuah perfect storm yang terungkap dalam berbagai skandal yang melanda Facebook belakangan ini.