Presiden Joko Widodo mencanangkan pengelolaan gambut sebagai salah satu strategi andalan untuk mengurangi emisi karbon Indonesia melalui pembentukan BRG.

Musim hujan yang mulai berkurang April ini, perlu ditindaklanjuti agar keberhasilan mencegah kebakaran hutan dan lahan terus berlanjut. Salah satunya adalah merestorasi lahan gambut.

Kegiatan restorasi dikoordinatori oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Namun, upaya ini bukanlah tanpa hambatan. Kendala utama adalah minim dan kurang barunya data dan informasi terkait peta-peta gambut sebagai acuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan restorasi gambut. Minimnya peta-peta tersebut memperlambat pelaksanaan restorasi di lapangan dan menyulitkan koordinasi dengan pemilik lahan, baik di dalam dan di luar konsesi, untuk melakukan kegiatan restorasi.

Sebagai contoh, peta fungsi ekosistem gambut yang belum diperbaharui menimbulkan ketidakpastian mengenai penetapan area gambut dengan fungsi lindung dan fungsi budi dayanya. Beberapa data dan informasi gambut di peta tersebut juga dinilai tidak lagi sesuai dengan keadaan saat ini. Dengan data yang kurang akurat tersebut, upaya restorasi yang diprioritaskan pada fungsi lindung terhambat.

Selain itu, ketidakpastian juga menyebabkan kurang tajamnya arahan pemerintah kepada pemilik lahan terkait upaya restorasi seperti pembasahan dan penanaman kembali.
Padahal, perlindungan gambut patut diutamakan. Gambut sangat kaya akan karbon. Jika dilepaskan ke udara akan menyebabkan perubahan iklim, memperburuk bencana seperti banjir, badai, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Tahun 2015, kebakaran gambut menghasilkan 2,57 gigaton karbon, setara dengan emisi yang dihasilkan 2.500 pabrik batu bara. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo mencanangkan pengelolaan gambut sebagai salah satu strategi andalan untuk mengurangi emisi karbon Indonesia melalui pembentukan BRG.

Pemetaan jadi acuan

Untuk melindungi lahan gambut dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, langkah krusial yang perlu adalah memetakan gambut termasuk lokasi, luasan, ketebalan dan tata airnya. Berbagai informasi ini akan bermanfaat untuk mengidentifikasi area gambut yang harus dikonservasi dan direstorasi maupun area budi daya.

Indonesia setidaknya memiliki tiga peta gambut, diterbitkan oleh Program Perencanaan Fisik Regional untuk Transmigrasi pada 1989, Wetlands International pada 2004, dan Kementerian Pertanian pada 2011. Apakah pemetaan gambut masih dibutuhkan dengan keberadaan peta-peta tersebut?

Ketiga peta mengandung informasi tentang luasan dan ketebalan gambut, tetapi peta-peta tersebut memiliki skala terlalu kecil, yakni 1:250.000. Berarti 1 sentimeter di atas peta setara dengan 2,5 kilometer di lapangan. Peta dengan skala tersebut dapat menjadi referensi perencanaan skala nasional seperti mengembangkan peta moratorium hutan nasional, tetapi tidak cukup untuk kebijakan pengelolaan gambut di tingkatan tapak, termasuk restorasi, yang membutuhkan peta dengan skala minimum 1:50.000.

Peta-peta itu perlu diperbarui agar akurat menggambarkan data dan informasi gambut saat ini, mengingat luasan dan ketebalan gambut dapat berubah akibat aktivitas di lahan gambut, seperti pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan.

Selain itu, mengukur ketebalan gambut bukan pekerjaan mudah. Pengetahuan akan ketebalan gambut amat penting mengingat ketebalan gambut menggambarkan volume karbon yang tersimpan di dalamnya. Kedalaman gambut juga menjadi kunci pengelolaan dan restorasi lahan gambut yang terdegradasi.

Namun, tidak adanya metode yang disepakati bersama oleh para ilmuwan untuk mengukur gambut, khususnya mengukur ketebalan gambut, telah menghambat upaya untuk menghasilkan peta gambut yang paling baik dan kredibel.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Sebanyak 69 ahli gambut dari sembilan negara bersama Badan Restorasi Gambut (BRG) RI dan masyarakat melakukan penanaman bibit pohon belangiran di Desa Taruna Jaya, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (4/11/2017). Mereka menanam sekitar 50 bibit pohon di sela-sela kunjungan mereka di Kalimantan Tengah sekaligus melihat proses restorasi lahan gambut pasca kebakaran hutan dan lahan.

Upaya kreatif

Kombinasi berbagai tantangan dan situasi ini membutuhkan upaya kreatif dan inovatif dalam memetakan lahan gambut di Indonesia. Pada era teknologi informasi di mana banyak aplikasi komputer, teknik pemodelan dan analisis, dan bemunculannya inovasi penginderaan jauh, logis jika kita berasumsi bahwa ada para pihak yang memikirkan metode teknis pemetaan gambut yang akurat, terjangkau, dan cepat. Masalahnya, bagaimana menemukan orang-orang tersebut dan mendapatkan metode pemetaan gambut yang optimal? Jawabannya adalah melalui kompetisi skala dunia.

Untuk itu, Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Yayasan David and Lucile Packard menggagas kompetisi Indonesian Peat Prize untuk menemukan metode pemetaan lahan gambut yang akurat, cepat, dan terjangkau dengan hadiah 1 juta dollar AS atau setara Rp 13 miliar.

Kompetisi diluncurkan pada 2 Februari 2016. Kompetisi mensyaratkan setiap kelompok peserta untuk bermitra dengan peserta dari Indonesia agar ada transfer teknologi dan pengetahuan pemetaan gambut ke Indonesia.

Kompetisi menarik peserta lebih dari 10 negara yang bermitra dengan universitas terkemuka Indonesia, lembaga penelitian pemerintah, LSM lingkungan, hingga perusahaan konsultan profesional. Metode yang ditawarkan dari penggunaan gelombang elektromagnetik, Light Detection and Ranging (Lidar), model machine learning, citra satelit, hingga pengukuran lapangan.

Kolaborasi ilmiah

Untuk memastikan kompetisi Indonesian Peat Prize, dibentuklah Dewan Penasihat Ilmiah, yang merekomendasikan finalis dan pemenang kepada Badan Informasi Geospasial. Beberapa institusi yang termasuk dalam Dewan Penasihat Ilmiah mencakup Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, CIFOR, NASA Jet Propulsion Laboratory, Universitas Leicester, European Space Agency, dan sebagainya.

Untuk memastikan tercapainya pengelolaan lahan gambut yang lebih efisien dan efektif di seluruh Indonesia melalui pemetaan gambut yang baik, metode pemenang kompetisi Indonesian Peat Prize akan menjadi referensi memperbaiki Standar Nasional Indonesia (SNI) pada pemetaan lahan gambut skala operasional 1:50.000. Ini akan bermanfaat bagi perencanaan lahan gambut di tingkat tapak.

Akhirnya, metode pemetaan gambut pemenang Indonesian Peat Prize, diharapkan dapat meningkatkan kualitas informasi geospasial terkait lahan gambut di Indonesia dan semakin mendukung pengambilan kebijakan yang berbasiskan data dan informasi yang akurat.