ANTARA FOTO/SHERAVIM

Petugas kepolisian menuangkan minyak ke ember saat membersihkan Pantai Banua Patra dari minyak yang memenuhi pesisir pantai di Balikpapan, Kaltim, Senin (2/4). Pasca kebakaran pipa minyak bawah air Balikpapan-Penajam Paser Utara di Teluk Balikpapan yang terjadi pada Sabtu (31/3), pesisir pantai dan pemukiman di pinggir laut Kota Balikpapan tercemar tumpahan minyak.

Lebih dari 45 tahun lalu harian ini menuliskan berita, 90 persen pencemaran minyak bumi di laut Indonesia merupakan akibat dari transportasi (Kompas, 16/2/1973).

Berita itu bersumber dari hasil kajian ahli Smithsonian, yakni lembaga penelitian di Amerika Serikat yang bersifat otonom. Laut di Indonesia berulang kali tercemar oleh minyak, yang berasal dari kerusakan kapal atau tanker. Tahun 1975, kebocoran tanker Showa Maru mencemari laut di sekitar Karimun Besar, Kepulauan Riau (Kompas, 23/1/1975). Kapal Ocean Blessing tahun 1992 mencemari Selat Malaka, dan tahun 2004 tanker milik PT Pertamina diduga mencemari Pantai Ancol, Jakarta.

Pencemaran laut di Indonesia akibat kebocoran pipa distribusi atau kerusakan kilang pun berulang kali terjadi. Tahun 2015, warga di Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, harus berjibaku sebab perairan sekitarnya tercemar oleh minyak mentah yang berasal dari kebocoran pipa bongkar muat milik PT Pertamina Refinery Unit IV Cilacap (Kompas, 29/5/2015).

Tragedi yang terluas adalah saat sumur minyak Montara, Australia, tahun 2009 meledak sehingga sekitar 16.400 kilometer persegi wilayah Laut Timor tercemar. Indonesia dirugikan tak kurang dari Rp 3 triliun, tetapi hingga kini penyelesaiannya belum cukup terang.

Dan, sejak 31 Maret lalu, warga di sekitar Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, kembali merasakan dampak pencemaran laut oleh minyak. Semula tak ada yang mengakui penyebab dari pencemaran, yang bahkan menimbulkan korban jiwa itu. Barulah empat hari kemudian PT Pertamina Refinery Unit V Balikpapan mengakui ada pipa penyalur minyak mentahnya yang putus.

Hingga Minggu (8/4), pencemaran di Teluk Balikpapan itu belum teratasi, bahkan area terdampaknya meluas dari perkiraan 12.987 hektar menjadi sekitar 20.000 hektar. Areal yang tercemar hingga Selat Makassar.

Untuk mengatasi persoalan ini dibutuhkan peran serta berbagai pihak. Bukan hanya warga terdampak dan Pertamina, melainkan juga aparatur pemerintah pusat. Apalagi, bagi warga Balikpapan, kejadian ini bukanlah yang pertama. Tahun lalu, harian ini pun melaporkan pesisir Balikpapan tercemar minyak. Pertamina mengerahkan sejumlah peralatan untuk membersihkannya (Kompas, 3/5/2017).

Pencemaran laut menimbulkan dampak yang luar biasa untuk perekonomian, lingkungan hidup, dan kesehatan. Oleh karena itu, pengawasan dan penegakan hukum harus kian digalakkan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) mengharuskan badan usaha untuk memberi tahu masyarakat dan berusaha mengatasi pencemaran yang dilakukannya. Warga pun dimungkinkan mengajukan gugatan untuk mendapatkan ganti rugi.