Saya alumnus Sekolah Guru Puteri Yogyakarta yang berdiri tahun 1942 pada masa penjajahan Jepang. Sebagai pemimpin ditunjuk Ibu Sri Oemijati Soewadjipoetro, adik kandung dr Soetomo, tokoh nasional kita.
Kepada Ibu Sri Oemijati, kami alumni Sekolah Guru Puteri Yogyakarta menulis Mengenang Ibu Sri Oemijati Soewadjiportro, Pendidik bagi Kaumnya, Nusa dan Bangsa, (tanpa tahun), rujukan tulisan ini selain Steve Susanto, Mengapa Sri Mulyani, terbitan Kompas Gramedia, 2010.
Sekolah guru puteri (SGP) terletak di Jalan Jati 2 Kotabaru. Bersamaan dengan itu didirikan pula sekolah guru laki-laki (SGL) di bawah pimpinan Bapak AW Karyoso, berlokasi di Jetis. SGP dan SGL, keduanya berasrama, tetapi kami tidak dipungut biaya.
Saya satu kelas dengan saudari Retno Sriningsih. Murid-murid berasal dari sejumlah daerah dengan bahasa dan budaya masing-masing. Namun, ibu Oemijati dan para guru memberikan teladan keindonesiaan.
Ibu pemimpin lulusan Belanda, tetapi dalam kedinasan tak pernah berbahasa asing. Busananya kain yang diwiru, berkebaya, bersanggul, bersandal jinjit, dan mengumbar senyum keibuan. Kakak kelas kami, Ceu Norma, menjadi Ny EN Sudharmono, istri wapres masa Orde Baru.
Tahun 1947, dibuka sekolah guru atas (SGA) di Yogyakarta dan Solo. Muridnya siswa-siswa pilihan dari pelbagai sekolah guru. Di antaranya Sdr Satmoko dari Blitar dan dari sekolah kami Sdr Retno Sriningsih.
Setelah lulus keduanya menikah dan mengajar di Tanjungkarang, Lampung. Mereka dikaruniai 10 anak, nomor tujuh Dr Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI dan menteri keuangan terbaik dunia 2018.
Banyak lulusan SGA yang melanjutkan studi hingga akhirnya menjadi guru besar, termasuk Retno-Satmoko, juga teman-teman dari SGP dan SGL, seperti Prof Sri Mulyani Martaniah (Psikologi) dan Prof Asdi S Dipojoyo (Bahasa Indonesia).
Demikianlah, sekolah guru berasrama menyumbangkan karyanya pada NKRI. Sayang, sejak 1950 tidak ada lagi sekolah guru yang berasrama. Sistem persekolahan pun kini telah berubah.
Titi Supratignyo, Jl Stonen, Gajah Mungkur, Semarang
Pinjaman Dipotong
Sebagai pengajar Unima (Universitas Negeri Manado) di Tondano, Oktober 2017, saya mengajukan permintaan kredit lanjutan ke BRI Tondano.
Saya mengajukan permintaan kredit hingga 15 tahun ke depan. Artinya, permintaan kredit selama 5 tahun masa aktif mengajar dan 10 tahun masa pensiun. Pencairan pada akhir Oktober dan awal November 2017. Uang yang saya terima Rp 40 juta sekian.
Pada pencairan pertama, dengan potongan 10 tahun masa pensiun, saya menerima Rp 1 juta sekian. Petugas yang menangani kredit saya berkata, "Bapak hanya menerima sedikit karena dipotong untuk dana asuransi Rp 34 juta."
Pada pencairan kedua, seminggu kemudian, dengan potongan 5 tahun masa aktif (hingga usia 65 tahun), saya seharusnya menerima Rp 39 juta. Namun, menurut petugas, saya hanya menerima Rp 30 juta. Yang Rp 9 juta ditahan.
Saya tanya, "Kapan saya bisa memperoleh kembali uang Rp 9 juta itu?" Petugas menjawab, "Ketika Bapak mulai pensiun."
Setelah sekian bulan berlalu, saya masih memikirkan hal itu. Mengapa uang yang Rp 9 juta tidak dicairkan sekaligus dengan yang Rp 30 juta?
Seingat saya (saya sudah beberapa kali mengajukan permintaan kredit di BRI Tondano), uang yang diblokir itu hanya berlangsung 1-2 bulan. Lalu, kenapa kali ini sampai saya pensiun baru cair?
Itu uang saya, mengapa harus diblokir lima tahun? Apa artinya kredit kalau sebagian uang diblokir. Bukankah uang pinjaman saya sudah dipotong dana asuransi Rp 34 juta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar