Saya bingung. Masalahnya adalah orang yang dijadikan sasaran tulisan saya ini. Tetapi, saya tahu, dia tidak akan tersinggung oleh karena tidak berpikiran sesempit orang-orang yang menyusun rencana undang-undang pelecehan wakil rakyat itu.

Ya, tulisan saya ini adalah tentang Jokowi. Saya pernah menulis tentang beliau, empat tahun yang lalu. Bahkan, waktu itu saya pakai kata "kau" dan "Joko" sebagai sapaan. Kini, saya juga ingin memakai kata sapaan "kau", tetapi terhalangi, konon tidak boleh karena beliau sudah menjadi presiden. Tidak apa-apa. Pokoknya beliau tetap berbusana, apa pun busananya. Penting, kok. Ayuk!

Maafkan saya, Pak Presiden. Ketika saya menulis tentang Bapak empat tahun lalu, tulisan saya tidak menyangkut kebijakan yang Bapak tawarkan, tetapi baju Bapak sebagai calon presiden. Cocok atau tidak baju itu untuk Bapak, capres waktu itu, yang konon bergaya ndeso itu. Bapak kala itu sudah melepaskan busana resmi sebagai gubernur Jakarta untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Akan menang dan berganti busana. Maka, biarpun saya "bule" nyinyir yang dibebani oleh sejarah, wajar saja saya mempertanyakan baju yang Bapak pakai. Setuju, kan?

Waktu itu, saya tidak tahu, apakah Bapak masih ingat, saya memuji Bapak karena Bapak suka memakai baju berkotak-kotak, yang waktu itu kerap Bapak pakai blusukan. Baju itu menandakan Bapak sebagai orang yang bukan sekadar ngomong-omong, melainkan orang yang bekerja dan mampu menyelesaikan masalah. Ingat?

Kini, memikirkan hal ini, saya tertawa… he-he! Mengapa? Karena Bapak tidak lagi memakai baju berkotak-kotak itu. Saya kira, saya tahu sebabnya. Baju gaya itu tidak lagi mewakili "sang pekerja", tetapi si mulut besar dari Amrikapura yang saya lupa namanya itu, tukang tweet yang tidak mampu menilai dampak tweet-nya, dan yang berkuasa setelah teman kita si Bama itu. Baju berkotak-kotak itu juga dipakai oleh mulut besar lainnya, presiden negara tetangga, yang suka memaki-maki siapa saja—kecuali Anda, Pak Presiden. He-he! Melihat mutu tinggi kedua oknum ini, saya betul-betul memahami mengapa Pak Presiden tidak mau lagi mengenakan baju berkotak-kotak. Pasti malu.

Apakah Bapak masih ingat juga? Empat tahun yang lalu, saya menulis betapa saya prihatin tentang cecunguk-cecunguk yang bakal mendekati Bapak Presiden untuk menawarkan busana yang "keren", dengan aneka dasi yang warnanya indah, tetapi cekikannya tak enak, atau dengan kantongnya yang besar agar mudah ditinggalkan amplop. Bahkan, saya juga khawatir Bapak dipaksa memakai busana afkiran pra-1998.

Namun kini, terus terang saya lega, Bapak Presiden. Cecunguk-cecunguk getir dikejar KPK. Gagal memaksakan bajunya. Adapun baju berkotak-kotak Bapak ganti dengan baju putih, bebas noda: tepat sekali pilihan itu! Soal busana resmi, ketika saya melihat Bapak berbaju batik, duduk santai di rindang pohon besar Istana Negara, saya memperhatikan gayanya: potongannya pas, warnanya pas, dan, penting sekali, kantongnya terlalu kecil untuk disisipkan apa pun selain ballpoint—karena Bapak terus bekerja.

Ketika masih di bawah pohon itu, Bapak Presiden menjelaskan betapa kaget menyaksikan bahwa harga bensin di Papua bisa 10 kali lebih mahal daripada di Jawa, saya seperti melihat seorang manusia sejati nan elegan yang tidak lagi membicarakan bensin saja, tetapi penyamarataan di dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan. Pendeknya, keadilan sosial.

Semoga di lembah-lembah tanah Papua, mereka semua mendengar bukan hanya kata-kata Bapak, melainkan juga suara batinnya. Kala itu, saya juga senang melihat cara Bapak menyadari peran kebudayaan untuk menangkal wacana aneh dari mereka yang menganggap sebagai musuh orang yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Syukurlah, Bapak Presiden tetap berbatik ria.