ALIF ICHWAN

Wakil Presieden Jusuf Kalla memberikan selamat kepada Anwar Usman Ketua MK yang baru (dua dari kiri) di saksikan oleh Wakil Ketua MK yang baru Aswanto (kanan), usai acara pembacaan sumpah sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) masa jabatan 2018-2020, di gedung MK, Jakarta, Senin (2/4/2018). Hadir dalam acara tersebut Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Menkopolhukam Wiranto, dan Hidayat Nur Wahid.

Mahkamah Konstitusi mempunyai pimpinan baru, Senin (2/4/2018). Nama Anwar Usman dan Aswanto sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK memang belum menjanjikan.

Anwar Usman merupakan hakim karier yang pernah menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung (MA), hakim tinggi, dan Wakil Ketua MK saat dipimpin Arief Hidayat. Aswanto, Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin, Makassar, selama ini berkecimpung dalam bidang penyelenggaraan pemilu dan pengawasan. Ia adalah hakim konstitusi dari pilihan DPR.

Harus diakui, belum ada catatan atau pengakuan cemerlang dari masyarakat yang mengiringi kedua pemimpin MK periode 2018-2020 itu. Masa jabatan keduanya adalah selama dua tahun enam bulan, sesuai Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 24/2003 tentang MK. Mereka bisa dipilih kembali pada jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Namun, Aswanto akan mengakhiri tugasnya sebagai hakim konstitusi pada Maret 2019. Dia bisa saja dipilih kembali.

Sebagai pimpinan MK, inilah waktu bagi Anwar dan Aswanto untuk membuktikan bahwa MK, yang semakin kurang dipercayai rakyat sejak tahun 2013 setelah Ketua MK (saat itu) Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi, masih dapat diandalkan masyarakat. MK harus lebih berani menunjukkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan atau kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum tata negara sehingga kepercayaan masyarakat pun pulih. Selama ini putusan MK acap kali dinilai "bermain aman" atau terlambat sehingga di masyarakat sudah berkembang polemik atau pro-kontra.

Padahal, selain menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, MK juga berwenang menangani sengketa wewenang lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil pemilu, atau menilai pendapat DPR jika presiden dan/atau wakil presiden diduga melakukan pelanggaran hukum. Jika MK terlambat memberikan putusan dan rakyat bisa "menemukan" sendiri penyelesaian persoalannya terkait ketatanegaraan, dapat dipastikan kepercayaan masyarakat kepada MK akan merosot.

Menurut Ketua Konstitusi Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi, putusan MK terkait pengujian UU sering lambat. Saat momentum selesai, baru ada putusan MK sehingga tidak cukup menguntungkan pencari keadilan (Kompas, 3/4/2018). Kondisi ini kian tidak menyenangkan pencari keadilan, jika putusan MK juga diwarnai perilaku hakim konstitusi yang kurang etis, seperti yang dilaporkan terhadap mantan Ketua MK Arief Hidayat.