Badan Pengawas Pemilu berniat memeriksa silang data laporan penerimaan sumbangan dana kampanye pasangan calon kepala daerah pada Pilkada 2018.

Berita yang dimuat harian ini, Senin (23/4/2018), memang mengindikasikan, ada saja laporan dana kampanye calon kepala daerah yang tidak benar dilaporkan kepada penyelenggara pemilu. Bawaslu akan memeriksa dengan teliti, termasuk dengan mengecek silang dan meminta data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Apalagi, 20 April 2018 merupakan batas akhir masa pelaporan penerimaan dana kampanye bagi pasangan calon kepala daerah yang mengikuti pilkada serentak 2018. Ada 171 daerah yang tahun ini menggelar pilkada.

Masalah dana kampanye dalam pilkada jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU (UU Pilkada).

Pasal 74 UU Pilkada menyebutkan, pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan parpol bisa mendapat dana kampanye dari sumbangan parpol pengusungnya atau dari pihak lain yang tak mengikat. Pasangan calon kepala daerah dari calon perseorangan bisa memperoleh dana dari pihak lain yang tidak mengikat, baik perseorangan maupun badan hukum swasta. Parpol wajib memiliki rekening khusus dana kampanye atas nama pasangan calon yang diusungnya. Rekening dana kampanye itu harus didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sumbangan dana kampanye yang boleh diterima pasangan calon kepala daerah adalah maksimal Rp 50 juta dari perseorangan dan Rp 500 juta dari badan usaha. Pemberi sumbangan harus dicantumkan identitasnya dengan jelas. Pasangan calon juga dilarang menerima sumbangan dari pihak asing, dana dari pemerintah daerah/negara atau badan usaha milik negara/daerah/desa, dan penyumbangnya tidak jelas. Kalau terjadi pelanggaran, Pasal 76 Ayat (4) UU No 8/2015 menyebutkan, bisa saja pasangan calon itu dibatalkan pencalonannya oleh KPU.

Namun, harus diakui, semenjak pilkada langsung digelar tahun 2005 hingga saat ini, juga pemilu langsung tahun 2004, belum ada calon atau partai yang dibatalkan kepesertaannya karena dugaan pelanggaran dana kampanye. Bahkan, pada masa lalu, tak sedikit peserta pemilu yang menerima dana kampanye dari pihak yang tak jelas, seperti ditulis noname (NN) atau hamba Allah.

Dalam beberapa perkara korupsi yang menjerat kepala daerah atau calon kepala daerah, jika dirunut, ternyata awal masalah adalah pencarian dana kampanye. Calon harus "membayar" dana kampanye yang diterimanya dari orang lain dengan menyediakan proyek, atau mengutip uang dari proyek atau promosi jabatan yang diberikan kepada orang lain. Ini dilakukan calon petahana.