ANTARA/DESTYAN SUJARWOKO

Petugas mengisi data pada stiker bukti pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih pilkada di salah satu rumah warga di Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (20/1). Pemutakhiran daftar 884.017 pemilih di daerah itu dilakukan KPU secara serentak mulai 20 Januari hingga 18 Februari, untuk ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT) yang berhak mengikuti pilkada dan pilgub, 27 Juni 2018.

Soal hak memilih ternyata masih menjadi isu politik meskipun bangsa Indonesia sudah beberapa kali menggelar pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

Petugas Panitia Pemutakhiran data Pemilih Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua melakukan pendataan pemilih di rumah warga di Kampung Ewer, Kabupaten Asmat, Papua, Senin (22/1). Proses pemutakhiran data ini untuk pencocokan dan penelitian data pemilih tetap.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Petugas Panitia Pemutakhiran data Pemilih Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua melakukan pendataan pemilih di rumah warga di Kampung Ewer, Kabupaten Asmat, Papua, Senin (22/1). Proses pemutakhiran data ini untuk pencocokan dan penelitian data pemilih tetap.

Menjelang pemilihan kepala daerah pada 27 Juni 2018, isu soal hak pilih kembali mencuat. Dikabarkan ada 6,7 juta pemilih yang terancam tidak bisa menggunakan hak pilih mereka karena belum memiliki KTP elektronik. Berdasarkan daftar pemilih sementara (DPS), dari 152.093.310 orang, sebanyak 6.678.025 calon pemilih terindikasi belum memiliki KTP elektronik.

Seperti dikutip Kompas, 21 Maret 2018, anggota Komisi Pemilihan Umum, Viryan Aziz, mengatakan, jika sampai penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pada 13-19 April 2018 terkonfirmasi calon pemilih tidak ada dalam basis data kependudukan, atau belum mempunyai KTP elektronik, nama mereka akan dikeluarkan. "Nama pemilih itu akan dicoret sebelum penetapan DPT," kata Viryan.

Cara pandang legalistik itu sah-sah saja. Namun, pencoretan nama pemilih itu bisa menimbulkan kompleksitas persoalan lain. Hak memilih itu dijamin konstitusi.

Hak memilih merupakan hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi dalam putusan pada 6 Juli 2009 menyatakan, KTP bisa digunakan untuk memilih. Kala itu, MK mengembalikan hak pilih warga negara yang tidak tercantum dalam DPT. MK berpendapat, hak memilih tidak boleh dikalahkan oleh urusan administrasi. Putusan MK bahkan dikeluarkan dua hari menjelang hari pemungutan suara pemilihan presiden, 8 Juli 2009. (Kompas, 7 Juli 2009)

Kita berharap Kementerian Dalam Negeri bisa mengantisipasi potensi hilangnya hak suara 6,7 juta pemilih. Kementerian Dalam Negeri tentunya mempunyai data di mana saja warga negara yang belum mempunyai KTP elektronik atau sama sekali belum merekamkan data mereka. Jemput bola harus terus diupayakan Kementerian Dalam Negeri, termasuk oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten.

Namun, di sisi lain, kita pun mengimbau kepada pemilih yang sadar belum merekamkan data atau belum mempunyai KTP elektronik bisa juga proaktif untuk mengurusnya. Kita tidak ingin masalah hak memilih warga negara terpaksa "dihilangkan" hanya karena soal administrasi kependudukan. Masalah ini merupakan hal klise yang selalu terjadi dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Namun, kenyataannya, masalah tersebut selalu menjadi isu yang tak kunjung terselesaikan.

Masalah hak pilih selalu menjadi isu sensitif yang kerap dimanfaatkan tim sukses pasangan calon yang pada akhirnya akan memengaruhi kredibilitas pemilu. Kita berharap Kementerian Dalam Negeri dengan infrastruktur yang dimilikinya bisa mengambil langkah-langkah signifikan untuk menjamin hak pilih warga negara dalam pilkada ataupun pemilu 2019. Problem kepemilikan KTP elektronik harus bisa segera diselesaikan.