KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Buruh tani memanen padi jenis IR64 di Desa Tirtoadi, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/4/2018). Mereka mendapat upah berupa gabah sebanyak 1/7 dari total panen yang diperoleh.

Dua tahun terakhir kenaikan produksi pangan, terutama beras, cenderung tidak tecermin pada harga. Situasi ini menuntut untuk memikir ulang paradigma pangan.

Pemerintah telah bekerja sangat keras meningkatkan produksi pangan, utamanya beras. Dana dan kerja keras dicurahkan untuk mencetak sawah baru, memasok serta menyubsidi benih dan pupuk, memberikan bantuan kredit, bantuan permesinan untuk memproduksi pangan, hingga menjaga harga di tingkat produsen untuk merangsang petani tetap memproduksi beras.

Meski produksi, menurut Kementerian Pertanian, mengalami kenaikan, pasokan yang tinggi tersebut cenderung tidak tecermin pada harga. Hingga akhir April ini harga masih relatif tinggi meskipun puncak panen padi baru berlalu.

Ada beberapa asumsi yang dimunculkan untuk menjelaskan mengapa harga tidak mencerminkan peningkatan produksi. Salah satunya, panen tidak serentak sehingga beras masuk bertahap ke pasar. Pasar beras yang akhir tahun lalu tipis pasokan membuat pedagang pada musim panen rendeng ini berlomba membeli beras.

Dalam hal ini petani agak diuntungkan karena harga gabah bagus. Pada sisi lain, pemerintah berkepentingan harga pangan, terutama beras, terjaga stabil sebab masih menentukan inflasi.

Sejak terjadi Revolusi Hijau pada dekade 1960-an kenaikan produksi beras cenderung melandai. Indonesia mendapat manfaat dari revolusi tersebut ketika peneliti di pusat penelitian beras International Rice Research Institute di Los Banos, Filipina, menemukan benih padi dengan produktivitas tinggi dan genjah. Terobosan teknologi itu mematahkan teori Malthus bahwa kenaikan jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sementara produksi pangan mengikuti deret hitung.

Kita berhadapan dengan setidaknya empat tantangan besar dalam mencukupi pangan, yaitu perubahan iklim, kenaikan jumlah penduduk, ketersediaan lahan dan air, serta logistik menyangkut transportasi, penyimpanan, dan distribusi pangan.

Perkembangan belakangan ini memperlihatkan cara kita memproduksi pangan mulai terdisrupsi dari sisi produksi dan konsumsi. Konsumsi pangan berubah karena meningkatnya kemakmuran masyarakat masih disertai ketimpangan nyata sehingga menyebabkan perbedaan kebutuhan pangan. Ada penduduk kelebihan gizi, tetapi ada yang kekurangan gizi sehingga menghasilkan anak-anak bertubuh pendek; ada yang tinggal di kawasan mudah dijangkau, tetapi tak sedikit di daerah terpencil. Semua adalah warga negara Indonesia yang hak asasinya mendapat pangan cukup dan bergizi harus dipenuhi.

Disrupsi dalam produksi dan konsumsi pangan memerlukan perubahan paradigma dalam cara menyediakan pangan. Salah satunya dengan terus mengembangkan teknologi untuk mengatasi kendala penyediaan pangan.