AFP PHOTO / LUDOVIC MARIN

Presiden Perancis Emannuel Macron.

Presiden Perancis Emmanuel Macron mencoba membujuk Presiden AS Donald Trump untuk tidak meninggalkan kesepakatan nuklir Iran.

Kunjungan Macron ke Washington berlangsung pada saat dunia menanti dua peristiwa penting yang melibatkan AS, yaitu kesepakatan nuklir Iran dan upaya denuklirisasi Korea Utara.

Terkait nuklir Iran, Presiden AS Donald Trump menetapkan tanggal 12 Mei sebagai tenggat keputusan Washington. AS mengancam akan keluar dari kesepakatan yang ditandatangani bersama Perancis, Jerman, Inggris, Rusia, dan China, pada 2015. Menurut Trump kesepakatan yang ditandatangani oleh presiden Barack Obama itu sebagai "bodoh" dan "tak masuk akal". Jika AS keluar dari kesepakatan itu berarti AS akan kembali menerapkan sanksi ekonomi kepada Iran.

Sekutu AS di Eropa, yang merasa khawatir dengan sikap impulsif Trump, mencoba mengirimkan Macron untuk "membujuk" dan memberi masukan kepada Trump karena keluarnya AS dari kesepakatan akan memperburuk situasi. Iran yang merasa selama ini telah patuh pada kesepakatan nuklir, bukan saja mengancam akan mengaktifkan kembali produksi uraniumnya, melainkan juga akan keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir.

Macron dianggap sebagai orang yang "pas" menjadi jubir Eropa dibandingkan Kanselir Angela Merkel atau PM Theresa May karena Trump mengagumi "keberanian" Macron yang sejak awal menunjukkan sikapnya kepada Trump. Dalam pertemuan itu, meskipun tidak menyatakan akan mengubah keputusannya, Trump menyiratkan terbuka terhadap "kesepakatan baru" yang lebih keras terhadap Iran.

Menurut The New York Times, Trump menginginkan keleluasaan Iran di kawasan dibatasi, bahkan ia secara spesifik menginginkan akses Iran menuju Laut Mediterania (melalui Suriah) ditutup, yang langsung mendapat dukungan dari Israel.

Sekutu AS di Eropa ingin kesepakatan itu dibuat bertahap. Diawali dengan menghentikan program nuklir, mencegah Iran mengembangkan rudal balistik, dan berikutnya menahan Iran agar tidak mencampuri urusan para tetangganya di kawasan. Sebaliknya, Iran mempertanyakan mengapa AS bisa bebas mencampuri urusan negara lain dan melakukan aksi unilateral?

Tenggat keputusan AS tentang kesepakatan nuklir Iran akan berbeda sedikit waktunya dengan rencana pertemuan antara Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Artinya, keputusan Trump akan membayangi kesepakatannya dengan Korut, apakah pada masa depan nasibnya akan sama.

Yang menarik, sikap Trump yang pernah mengejek Kim sebagai "pria roket" yang "pendek dan gemuk", kini berubah drastis. Ia menyebut Kim sebagai sosok "terhormat" dan "sangat terbuka".