Sudah sangat lama kelompok penghayat kepercayaan—atau mereka yang selama ini meyakini dan dengan tekun merawat spiritualitas leluhur Nusantara—dinafikan keberadaannya karena negara tak mengakui kepercayaan mereka.
Hampir setengah tahun berlalu sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang membuka peluang pencantuman kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kolom di KTP elektronik dan data kependudukan lain.
Namun, implementasi riil putusan MK itu selalu menghadapi kendala atau berputar-putar tak menentu dan malah menerbitkan rasa curiga bahwa "nasib" putusan tersebut lebih banyak akan ditentukan oleh tarik ulur kepentingan politik sesaat.
Ini sungguh aneh karena putusan MK tersebut sangat jelas dan tegas, juga visioner karena membuka kemungkinan bagi penataan ulang sistem demokrasi- konstitusional yang menjadi imperatif proses reformasi sejak Mei 1998. Lalu di mana kemacetan itu terjadi? Apa masalahnya sehingga putusan yang tegas, bersifat mutlak dan final tersebut selalu tersendat-sendat dalam implementasinya?
Berbeda, tetapi setara
Sudah sangat lama kelompok penghayat kepercayaan—atau mereka yang selama ini meyakini dan dengan tekun merawat spiritualitas leluhur Nusantara—dinafikan keberadaannya karena negara tak mengakui kepercayaan mereka. Ini tecermin jelas dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan revisinya (untuk kepentingan KTP elektronik) dalam Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU Nomor 24 Tahun 2013. Pasal-pasal itu memerintahkan pengosongan kolom agama dalam KTP dan dokumen kependudukan lain "bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan" (cetak miring ditambahkan). Jelas ketentuan itu dinilai sangat diskriminatif sehingga digugat ke MK.
Setelah melalui perdebatan cukup panjang, lewat Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 para hakim MK secara bulat mengabulkan semua gugatan dan menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amar putusan ditegaskan, kata "agama" dalam pasal-pasal itu "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'." Karena itu, MK memerintahkan agar dalam KTP dan dokumen kependudukan lain diizinkan alternatif pencantuman "kepercayaan", selain "agama" seperti umumnya.
Putusan yang diambil MK itulah yang dinilai sebagai langkah terobosan dan membawa angin segar bagi perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, jika diletakkan dalam konteks pembangunan sistem demokrasi konstitusional, putusan tersebut sungguh visioner. Mengapa?
Putusan MK sungguh bernilai visioner karena menggemakan kembali tuntutan "politik kesetaraan" yang menjadi imperatif reformasi Mei 1998. Sebab, runtuhnya rezim Orde Baru membuka peluang emas untuk menata kembali sistem demokrasi konstitusional di mana kesetaraan warga negara dalam menikmati hak-haknya merupakan prinsip paling dasar yang harus dihormati.
Pada satu sisi, putusan MK itu mempersoalkan "politik pembedaan" yang selama ini diwariskan dan menjadi akar diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan. Di situ ada pembedaan status, perlakuan, dan jaminan negara antara kelompok enam "agama besar" dan mereka yang digolongkan "belum beragama" atau "penghayat kepercayaan". Kedua kelompok itu tak saja diperlakukan berbeda, tetapi juga tidak setara dalam menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti dokumen kependudukan yang nantinya berimplikasi pada akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi, sosial, dan lainnya.
Pembedaan perlakuan dan ketidaksetaraan inilah yang diterobos oleh putusan historis MK. Memang benar dalam putusannya MK tidak menyamakan keduanya. Perbedaan kedua kelompok tersebut tetap dipertahankan oleh MK. Namun, walau berbeda, sebagai sesama warga negara kedua kelompok itu harus diperlakukan setara dan tanpa pembedaan atas dasar apa pun, termasuk kepercayaan. Prinsip dasar ini, yakni "berbeda tetapi setara", juga ditegaskan dalam konstitusi (lihat Pasal 28E Ayat (1) dan (2) UUD 1945).
Dibaca begitu, maka pada sisi lain putusan MK sungguh bernilai visioner karena menggemakan kembali tuntutan "politik kesetaraan" yang menjadi imperatif reformasi Mei 1998. Sebab, runtuhnya rezim Orde Baru membuka peluang emas untuk menata kembali sistem demokrasi konstitusional di mana kesetaraan warga negara dalam menikmati hak-haknya merupakan prinsip paling dasar yang harus dihormati. Kita tahu itulah tuntutan utama yang menggerakkan reformasi dua dekade lalu.
Pertaruhan politik
kenegaraan
Namun, setelah hampir setengah tahun berlalu, implementasi riil putusan historis MK tersebut sampai kini belum jelas arahnya. Bagi banyak aktivis dan komunitas penghayat, ketidakjelasan itu jadi beban tersendiri dan menerbitkan rasa frustrasi.
Salah satu kendala terbesar, dan mungkin tantangan paling berat, bagi implementasi putusan MK itu ada pada penataan ulang birokrasi pemerintahan. Ini bukan hanya mencakup masalah teknis administratif yang harus diakui cukup rumit, melainkan juga bisa ditengarai masalah yang lebih subtil terletak pada kultur birokrasi. Maksud saya, "politik pembedaan" di atas selama ini telah membentuk cara bagaimana birokrasi pemerintahan menyikapi keberadaan komunitaskomunitas penghayat dan tuntutan mereka.
Bahkan, lebih jauh lagi, warisan "politik pembedaan" ini juga membentuk dan memengaruhi persepsi kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sudah banyak kajian dan pemantauan yang memperlihatkan bagaimana komunitas penghayat kerap harus mengalami stigma buruk, dituduh sebagai ajaran sesat dan berbahaya, dan tuntutan hak-hak mereka dianggap upaya menyamakan agama dengan kepercayaan, atau menciptakan "agama baru" yang bisa jadi saingan.
Padahal, sebagaimana diurai di atas, keputusan MK tidak bermaksud menyamakan agama dengan kepercayaan, tetapi mau menggarisbawahi prinsip dasar kewarganegaraan: sekalipun masing-masing kelompok atau individu berbeda, sebagai warga di dalam negara yang demokratis mereka harus diperlakukan setara. Ini merupakan pertaruhan politik kenegaraan yang harus ditegaskan oleh pemerintah.
Sayang sekali pemerintah justru memberikan kesan bingung menghadapi tarik ulur kepentingan politik yang kemudian berkembang. Hal ini tecermin dari wacana yang berkembang untuk membuat pembedaan KTP antara kelompok pemeluk agama dan kelompok penghayat kepercayaan. Jadi, nantinya akan ada KTP bagi kelompok "agama besar" dan KTP bagi kelompok penghayat. Sungguh absurd, hanya karena alasan kepercayaan yang diyakini, KTP kelompok-kelompok masyarakat harus dibedakan! Tentu saja, jika wacana ini benar-benar diimplementasikan, lagi-lagi kita akan mewariskan "politik pembedaan" yang menafikan jaminan kesetaraan warga.
Karena itu, dibutuhkan keberanian dan kemauan politik yang sungguh kuat dari presiden sebagai pelaksana konstitusi untuk menegaskan politik kenegaraan dan mengembalikan arah reformasi setelah hampir dua dekade berlangsung. Tanpa ketegasan tersebut, putusan MK yang sesungguhnya bersifat absolut, final, dan mengikat justru akan menjadi "bola panas" yang berkembang liar di tahun politik.
Apakah ujian konstitusional ini akan dapat dilewati? Mari kita tunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar