Pesiden Joko Widodo (kanan) menuliskan pesan singkat berbahasa Indonesia di dinding Tanda Tangan Facebook disaksikan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (ketiga kiri), Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf (kedua kiri) dan pendiri Facebook Mark Zuckerberg (kanan) saat berkunjung ke kantor pusat Facebook di Silicon Valley, San Fransisco, Amerika Serikat, Rabu (17/2/2016) waktu setempat.

Sejak akhir abad silam, Silicon Valley jadi ikon dan jantung revolusi teknologi informasi di muka bumi ini. Dari lembah inilah berbagai produk dan layanan teknologi dipikirkan, ditemukan, direkayasa, didesain, diproduksi, dikembangkan, disempurnakan, dan kemudian disebarkan ke seluruh dunia. Silicon Valley menjadi simbol terpenting sejarah perkembangan Revolusi Industri 3.0 yang kemudian bergerak ke apa yang kini kita kenal sebagai Revolusi Industri Keempat (RI 4.0).

Tahun 2017, nilai pasar lima perusahaan terbesar di Silicon Valley mencapai 2,5 triliun dollar AS, dengan jumlah pekerja yang mencari nafkah di sana hanya sekitar 500.000 orang. Whatsapp yang modal awalnya 8 juta dollar AS, dan kini dibeli Facebook senilai 19 miliar dollar AS, hanya punya 55 pegawai. Bandingkan dengan sektor otomotif. Tiga perusahaan otomotif terbesar di pusatnya di Detroit sana, pada masa puncaknya tahun 1990-an, hanya punya nilai pasar 36 miliar dollar AS, padahal mempekerjakan lebih kurang 1,2 juta orang. Tahun 2000, angka itu menjadi 66 miliar dollar AS dengan 390.000 pekerja dan pada tahun 2017 menjadi 144,8 miliar dollar AS dengan 607.000 pekerja.

Apa yang kita pelajari dari perbandingan angka-angka tersebut? Dari gambaran nilai pasar dan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menggerakkan industri teknologi informasi (TI) dan otomotif, jelas bahwa TI telah merevolusi sistem dan proses bekerja manusia untuk mendapatkan nilai ekonomi yang sama. Itulah gejala paling kasatmata dari revolusi digital hari ini.

Optimisme vs pesimisme

Tanda-tanda yang paling menakutkan dari era baru RI 4.0 di mata sebagian orang adalah berkurangnya jumlah tenaga kerja. Penyebabnya adalah otomatisasi oleh robot, pemanfaatan dan pengolahan data, dan penerapan aplikasi kecerdasan buatan pada berbagai bidang industri, khususnya manufaktur, jasa, dan transportasi.

Presiden Jokowi, mengutip riset McKinsey Global Institute, menyebutkan bahwa RI 4.0 akan berdampak 3.000 kali lipat lebih dahsyat daripada RI 1.0. Angka 3.000 ini didapat karena perubahan berlangsung 10 kali lebih cepat dan dampaknya akan terjadi 300 kali lebih luas.

Lantas bagaimana kita memaknai perubahan ini? Menatap perubahan tersebut secara optimistis atau pesimistis tentu bergantung pada setiap individu, organisasi, lembaga bisnis, bahkan negara-bangsa. Namun, pada akhirnya, ini soal pilihan. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo memilih optimisme sebagai pijakan dan cara pandang menghadapi perubahan yang memang berlangsung amat cepat dan drastis, kompleks dan berdampak luas, mengejutkan dan sulit diprediksi ini.

Mengapa optimistis? Karena era baru ini membawa peluang baru. Berdasarkan prediksi Forum Ekonomi Dunia (WEF), sampai dengan 2020 sektor bisnis dan operasi keuangan akan melahirkan lebih kurang 492.000 pekerjaan baru, setara dengan hilangnya pekerjaan di sektor pertambangan dan konstruksi sebesar 497.000 lapangan kerja. Hilangnya pekerjaan di bidang media massa, seni, desain, hiburan, legal/hukum, jasa perawatan dan instalasi sebesar 200.000 pekerjaan, akan tergantikan dua kali lipat oleh munculnya jenis pekerjaan baru di bidang komputasi dan matematika terapan sebesar 405.000 jenis pekerjaan. Itu belum termasuk jenis pekerjaan baru di bidang manajemen yang jumlahnya diperkirakan sekitar 416.000 lapangan kerja.

Hingga tahun lalu, Amazon telah membuka lapangan kerja bagi 307.000 orang, sementara Apple 116.000 orang. Dalam 13 tahun, Google menyerap 70.000 pekerja, sementara Facebook dalam lima tahun menarik 16.000 karyawan. Meski secara global angka ini masih terlihat kecil, pertumbuhannya amat pesat.

Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan lima sektor industri prioritas dalam menyambut era baru ekonomi digital ini, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan produk busana, otomotif, elektronik, dan kimia. Selain kelima sektor itu, terdapat potensi lain yang tak kalah besar, yakni industri pariwisata dan finansial.

Meski sektor administrasi dan manufaktur akan tergerus, sektor industri pariwisata justru amat menjanjikan. Penciptaan 10 daerah tujuan wisata baru setara dengan Bali yang disebut program "10 Bali Baru" jadi salah satu tumpuan yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dalam waktu singkat.

Pendidikan dan pelatihan

Selain telah menetapkan lima prioritas industri sebagai tulang punggung memasuki ekonomi digital di Indonesia, yang mendesak harus dipersiapkan adalah menyuntikkan kesadaran baru. Pada siapa? Pada angkatan kerja generasi baru agar bisa melihat era baru ini dalam kacamata optimisme. Untuk itu, diperlukan suatu "silabus pokok" tentang ekonomi digital, sembari terus melakukan pembaruan-pembaruan seketika mengingat subyek RI 4.0 ini berubah amat cepat dan bisa berbelok tiba-tiba.

Pemahaman tentang ekonomi digital sejauh ini memang belum menyentuh dunia pendidikan secara masif dan terstruktur. Di sektor pendidikan tinggi, kecenderungan perguruan tinggi (PT) untuk berfokus pada produksi lulusan yang siap kerja sesuai program studi atau jurusan yang telah berumur puluhan tahun harus diimbangi materi perkuliahan yang membedah anatomi RI 4.0 secara mendalam. Menurut hemat saya, hal ini sudah layak jadi mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswa di semua PT di republik ini.

Saya mencatat terdapat bidang keilmuan baru yang akan banyak dibutuhkan dalam ekonomi digital. Ada lima kluster. Pertama, ilmu dalam kluster teknologi informasi yang meliputi kecerdasan buatan (artificial intelligence), mesin pembelajar (machine learning), automasi (automation), keamanan siber (cyber security), big data, dan analisis data. Kluster kedua mencakup bioteknologi, ilmu biomedis, teknik biomedis, pemetaan struktur, fungsi, dan rekayasa gen (genomics), dan perawatan kesehatan (healthcare). Sementara ilmu tentang iklim, energi, sumber daya alam, dan lingkungan merupakan kluster ketiga. Kluster keempat berisi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan dunia seni digital, desain digital, dan teknologi kreatif. Kluster terakhir berfokus pada bidang pendidikan dan pelatihan keterampilan digital.

Dengan munculnya bidang keilmuan baru yang lintas—sekaligus multidisiplin—ini jelas bahwa linearitas di PT Indonesia tidak lagi relevan, baik untuk penyiapan sektor tenaga kerja maupun kepakaran di bidang ilmu tersebut.

Sementara itu, di sektor pendidikan dasar dan menengah, fundamental pendidikan ke era digital harus didorong. Sumber daya manusia Indonesia, sebelum masuk ke ranah pendidikan digital yang "berat", seperti memahami cara kerja kecerdasan buatan, harus paham lebih dulu basic digital. Hal ini penting untuk menjembatani kesenjangan digital: memastikan yang sudah punya akses ke ekonomi digital jadi lebih percaya diri untuk produktif di ruang digital dan mendorong yang sudah produktif menjadi bisa lebih produktif lagi. Karena itu, pendidikan dan pelatihan keterampilan digital diprediksi akan jadi penggerak ekonomi digital yang paling menjanjikan sampai dengan 15 tahun mendatang.

Arah ke depan

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini sesungguhnya adalah memberi dan menyusun pilar-pilar baru di atas fondasi optimisme menyambut ekonomi digital yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Untuk itu, perlu kolaborasi dan koordinasi antarsektor dan disiplin ilmu. Juga kerja sama antarlembaga pemerintah maupun swasta, juga antarinstitusi pendidikan, terutama mulai dari tingkat menengah atas dan pendidikan tinggi.

Kita tidak mungkin merenung berlama-lama mengingat waktu adalah variabel menentukan berhasil-tidaknya kita mengarungi gelombang perubahan yang sedemikian dahsyat dan cepat arusnya. Revolusi Industri 4.0 akan menuntut segera munculnya University 4.0, Government 4.0, dan bahkan Development 4.0.

Kelincahan dan kecepatan menyinergikan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki bangsa ini menentukan sukses tidaknya kita meniti gelombang perubahan tersebut. Jika kita lincah dan tangkas, kita akan dengan penuh optimisme mengatakan, "Selamat datang era baru", tanpa takut tergerus atau tertinggal.