KOMPAS/ALIF ICHWAN

Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah hadir menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (8/3/2017). Dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ratu Atut didakwa merugikan negara Rp 79,789 miliar dalam korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) Banten.

Korupsi masih membayangi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dampak buruknya merugikan keuangan negara dan menurunkan kualitas layanan juga secara langsung mengancam nyawa masyarakat.

Korupsi terjadi di pembuat kebijakan hingga unit penyedia layanan, seperti rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Pada tingkat pusat, misalnya, sudah dua eks menteri kesehatan yang ditahan: Achmad Suyudi dan Siti Fadilah Supari.

Pada tingkat daerah, beberapa kepala daerah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat korupsi proyek dan anggaran kesehatan, antara lain Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tegal Siti Mashita, dan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah. Begitu pula tingkat penyedia pelayanan, tidak sedikit pemimpin atau pegawai rumah sakit dan puskesmas yang berurusan akhirnya masuk bui karena korupsi.

Obat dan alat kesehatan

Dari banyak celah korupsi, pengadaan alat kesehatan dan obat merupakan dua sektor paling rawan. Berdasarkan tren pemberantasan korupsi anggaran kesehatan 2010-2015, pengadaan alat kesehatan menempati urutan puncak sektor paling banyak korupsi. Dalam rentang lima tahun, setidaknya ada 107 kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang ditangani aparat penegak hukum. Nilai kerugian Rp 543 miliar.

Banyak faktor penyebab pengadaan alat kesehatan jadi obyek utama korupsi. Pertama, alokasi anggarannya besar. Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran, semakin banyak alat yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Hampir semua tindakan medis menggunakan bantuan alat kesehatan.

Apalagi, di sisi lain, pemerintah daerah berlomba "menaikkan kelas" rumah sakit. Syarat utama yang harus dipenuhi: memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik, seperti medik umum dan spesialis. Semua itu menuntut ketersediaan alat kesehatan. Semakin tinggi tipe, semakin banyak fasilitas dan jenis pelayanan yang harus disediakan. Artinya, makin banyak alat yang mesti dimiliki.

Kedua, alat kesehatan memiliki banyak substitusi. Satu jenis barang dengan fungsi dan spesifikasi yang sama bisa diproduksi banyak perusahaan. Kualitas dan harga berbeda-beda. Sebenarnya hal tersebut sangat lumrah dalam dunia bisnis. Namun, yang jadi masalah adalah perbedaan harga sering kali dimanfaatkan sebagai peluang untuk korupsi.

Dari banyak kasus korupsi, khususnya di daerah, modus yang digunakan dengan mencari keuntungan dari selisih harga. Dalam pengusulan anggaran, spesifikasi mengacu pada barang yang berkualitas tinggi; umumnya diproduksi perusahaan dari Eropa atau Amerika. Akan tetapi, realisasinya, barang yang dibeli berkualitas lebih rendah dengan harga yang jauh lebih murah.

Ketiga, lemahnya pengawasan. Selain jenisnya banyak, spesifikasi alat kesehatan umumnya lebih rumit. Tidak semua orang bisa memahami dan membedakan antara alat berkualitas rendah dan tinggi. Karena cukup rumit, tak banyak yang mau dan mampu mengawasi pengadaan alat kesehatan. Akibatnya, berbagai manipulasi dan penyelewengan dengan mudah dilakukan. Selain mencari selisih harga, modus lain yang sering digunakan: mark up harga, penyunatan anggaran, manipulasi pembelian.

Hal serupa terjadi dalam pengadaan obat. Hampir semua aktivitas pelayanan kesehatan berkaitan dengan obat. Walau sebagian besar harganya tidak semahal alat kesehatan, alokasi anggaran yang disediakan hampir sama besar, jenisnya pun sangat banyak, dan jarang yang mengetahui detail teknis atau spesifikasinya.

Walau secara umum modus korupsi dalam pengadaan obat tidak jauh berbeda dengan pengadaan alat kesehatan, ICW menemukan modus yang lebih unik, yaitu membeli atau mengadakan obat yang mendekati masa kedaluwarsa. Rekanan atau panitia pengadaan bisa mendapat rente yang lebih besar karena potongan harganya jauh lebih tinggi sehingga harga obat jauh lebih murah.

Dampak korupsi

Korupsi menyebabkan kerugian keuangan negara. Peralatan kesehatan dan obat yang dibeli jauh lebih mahal, tetapi tak berkualitas. Dalam banyak kasus, pemerintah memaksa mengadakan alat yang ternyata berbeda dengan kebutuhan rumah sakit dan puskesmas.

Korupsi pun jadi biang keladi buruknya pelayanan kesehatan. Peralatan tidak memadai dan kekurangan obat merupakan dua masalah utama yang paling banyak dikeluhkan masyarakat terkait dengan rumah sakit milik pemerintah dan puskesmas. Korupsi membuat masyarakat sulit mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Selain itu, dampak paling berbahaya dari korupsi kesehatan adalah secara langsung mengancam nyawa masyarakat. Berbagai peralatan yang dibeli dari proses yang korup sangat mudah rusak, pelayanan purnajualnya buruk, dan tak presisi dalam mendiagnosis kondisi pasien. Peralatan tak bisa memberikan informasi akurat yang dapat menyebabkan tenaga medis salah melakukan tindakan medis. Begitu pula dengan obat. Jika masih tetap digunakan, obat kedaluwarsa justru jadi ancaman serius bagi pasien.

Langkah penting mempersempit ruang korupsi kesehatan, khususnya terkait alat kesehatan dan obat, adalah mendorong penggunaan e-katalog dan e-purchasing. Selain mempermudah, proses pengadaan pun tidak lagi berbelit-belit. Keduanya memberi kepastian spesifikasi teknis dan acuan harga.

Tapi, e-katalog dan e-purchasing bukan satu-satunya solusi untuk menekan korupsi kesehatan. Proses politik dalam penganggaran pun harus dikontrol oleh publik.

Terakhir, terkait penegakan hukum. Selama ini pertimbangan yang memperberat hukuman pelaku korupsi kesehatan hanya besaran kerugian negara dan aturan yang dilanggar, sedangkan dampak yang ditimbulkan dari praktik korupsi kerap diabaikan. Padahal, korupsi kesehatan secara langsung bisa mengancam nyawa masyarakat. Karena itu, agar timbul efek jera, dampak korupsi harus didorong menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis.